oleh. gus Idasilva
Bencana akan diikuti dengan berbagai kebutuhan yang muncul. Diawali dengan kebutuhan untuk mencari tempat yang aman, makanan, pakaian, pengobatan bagi yang terluka, dan seterusnya. Selain itu, ada juga kebutuhan yang sifatnya non fisik. Kebutuhan psikososial, tidak terlihat tetapi dapat dirasakan.
Sungguh menggembirakan ketika dalam beberapa tahun terakhir sudah semakin banyak orang yang menyadari kebutuhan ini dan berusaha melakukan sesuatu untuk memenuhinya. Saya sendiri mulai mengenal kegiatan pemulihan psikososial ini pada tahun 2001. Saat itu saya mengenalnya dengan nama trauma healing atau konseling trauma yang jika diterjemahkan menjadi penyembuhan trauma. Ketika semakin menekuni hal ini, saya menyadari bahwa penggunaan kata ‘konseling trauma’ atau ‘trauma healing’ tidak sepenuhnya tepat. Terlebih ketika paradigma pemulihan menjadi lebih mengutamakan potensi yang dimiliki dan dapat dilakukan oleh diri atau komunitas itu sendiri. Konseling trauma, trauma healing, atau apapun itu namanya mengandung arti bahwa orang tersebut sudah mengalami trauma sehingga perlu diberikan konseling atau terapi agar sembuh. Apakah memang betul bahwa setelah mengalami bencana semua orang mengalami trauma? Apa sebetulnya yang perlu dan bisa kita lakukan dalam situasi bencana?
Traumakah?
Kata trauma yang sering kita dengar dalam kaitannya dengan kejadian bencana sangat mungkin merujuk pada perasaan sedih, takut, cemas, khawatir, terbayang kejadian yang tidak menyenangkan, sulit tidur, menarik diri, menjadi pendiam, pemurung dan sebagainya. Intinya, mewakili sesuatu yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan. Jika itu yang dimaksud, anda belum tentu mengalami gangguan trauma!
Dalam ilmu kesehatan jiwa, trauma merupakan penyingkatan dari istilah PTSD – Post Traumatic Stress Disorder atau gangguan stres pasca trauma. Untuk menegakkan diagnosa seseorang mengalami trauma, dalam DSM atau PPDGJ, minimal ada enam kriteria yang harus terpenuhi. Salah satunya adalah bahwa gejala-gejala tersebut terjadi minimal dalam satu bulan! Nah jika mengambil kasus gempa di Pidie Jaya (7 Desember 2016) dan hari ini (14 Desember 2016) sudah ada orang yang melaporkan bahwa di posnya sudah ada orang yang mengalami trauma, tentu menjadi aneh. Mungkin saja yang orang tersebut memang tidak mengetahui hal ini. Namun akan menjadi pertanyaan besar buat saya, jika itu muncul dari profesional kesehatan jiwa seperti psikolog, psikiater, perawat jiwa, atau pekerja sosial profesional terlatih.
Apa yang sebetulnya terjadi?
Pertanyaan ini akan lebih mudah dijawab ketika kita mencoba menghayati dan merasakan berada dalam posisi orang yang mengalami situasi sulit atau bencana tersebut. Cobalah kita mengingat sejenak situasi sulit (tidak harus bencana besar) yang pernah dialami. Apa yang kita alami waktu itu? Bagaimana kejadiannya? Apa yang kita rasakan? Apa yang kita pikirkan? Apa yang kita lakukan pada waktu itu?
Hal yang kita pikirkan dan rasakan saat mengalami situasi sulit atau bencana tersebut adalah reaksi normal atau reaksi yang wajar dialami.
Justru akan menjadi aneh ketika mengalami bencana, kita merasa senang dan gembira. Kalau itu yang terjadi, kita tidak menghayati kejadian tersebut sebagai bencana! Atau kita harus juga curiga jangan-jangan sudah mati rasa atau tidak bisa mengekspresikan emosi seperti yang seharusnya.
Hal yang tidak normal adalah ketika kondisi tersebut terus berlanjut dalam kurun waktu yang relatif lama dan membuat kita tidak bisa berpikir atau beraktivitas normal lagi.
Apa yang bisa dilakukan untuk membantu orang secara psikologis?
Jawaban pertanyaan ini akan mengarahkan apa yang bisa kita lakukan: Apa yang membuat Anda merasa terbantu pada saat itu? Baik itu ucapan, sikap, atau respon orang lain.
Hal yang kita rasakan sebagai sesuatu yang membuat kita merasa nyaman dan terbantu inilah yang menjadi dasar dalam membangun hubungan yang membantu dalam pemulihan psikologis!
Ide dasarnya adalah sebagai berikut:
Fasilitasi Rasa Aman. Lakukan segala sesuatu yang bisa membuat orang yang terkena bencana agar dapat merasa aman. Caranya? Penuhi kebutuhan dasarnya. Jika dia terpisah dengan anggota keluarga, satukan mereka kembali. Jika dia membutuhkan informasi, sediakanlah informasi yang terpercaya. Sediakan hal lain yang dianggap perlu.
Fasilitasi Keberfungsian. Dorong orang untuk berfungsi kembali, dalam artian dia bisa berpikir dengan relatif lebih jernih memahami situasi yang terjadi dan apa saja yang dapat dia lakukan untuk mengatasi masalah yang ada.
Caranya antara lain:
Berikan perhatian melalui kata-kata dan perbuatan yang tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang yang ingin kita bantu.
Berbicara jelas dan bisa dimengerti oleh penyintas (survivor).
Tidak berusaha menasehati atau memberikan memberikan pendapat pribadi.
Merespon terhadap kemarahan penyintas dengan tenang, tidak dengan membela diri, marah atau sakit hati.
Hindari memotong atau menyela pembicaraan penyintas.
Hindari kata-kata atau bahasa tubuh yang mengancam, menyalahkan, atau mempermalukan penyintas.
Jaga keluarga mereka agar tetap bersama dan berhubungan satu sama lain.
Tanyakan pada mereka adakah pihak lain yang ingin diberitahu sehubungan dengan bencana yang baru saja terjadi.
Membantu merencanakan tindak lanjut. Setelah bencana terjadi, hal yang ingin kita lakukan adalah kembali ‘Normal’. Kembali normal bukan sekedar berarti kembali ke kondisi yang sama seperti sebelumnya, tetapi juga kembali dapat menjalani kehidupan sebagai pribadi yang utuh. Oleh karena itu, ajaklah orang-orang di sekitar untuk bersama-sama kembali menjalani aktivitas seperti biasa.
Kesannya sederhana sekali ya?
Ya, memang kita tidak perlu berpikir terlalu rumit, cukup hayati dan gali kembali apa yang dapat dilakukan dengan segera, tanpa harus mengandalkan bantuan dari orang lain atau belajar teknik-teknik ajaib.
Kita justru harus bertanya dengan kritis jika ada yang menawarkan: “Dengan teknik ini, trauma akan hilang dalam 5 menit!”. Sungguh, itu promosi tukang obat keliling yang enak didengar, tapi tidak dijamin kemanjurannya. Jika benar-benar manjur, tentunya mereka tidak akan dagang keliling lagi sambil terus mempromosikan kemanjurannya.
Tulisan di atas hanyalah kerangka umum. Kita bisa saja mengadaptasinya untuk untuk membantu pada berbagai kelompok mulai dari anak, remaja, orang dewasa, orang lanjut usia dan sebagainya. Mari berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk membantu dengan lebih baik.
Refrensi :
»» Pusat Krisis Fakultas
Psikologi Univ Indonesia.
»»Pusat Krisis Fakultas
Psikologi'Univ Erlangga
Salam Berbagi,
14 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar