Oleh Gus i-BroheM
Karena saya sangat berharap ada perubahan dalam perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya air (DAS, sungai, danau dan sumber-sumber mata air) di negara kita yang tercinta ini. Dalam beberapa hari terakhir saya mencoba membaca banyak artikel dan buku sumber daya air dan model pengelolaannya. Juga berdiskusi dan mewawancarai beberapa orang yang saya anggap ahli atau memiliki pengalaman tentang hal ini.
Salah satu buku yang saya baca sampai tuntas adalah buku “Reformasi Pengelolaan Sumber Daya Air” yang ditulis oleh DR.-Ing. Ir Agus Maryono lulusan Manajemen Sumber Daya Air, Hidraulika dan Irigasi University of Karlsruhe, Jerman. Dosen Departemen Teknik Sipil dan Program Doktor Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Dalam beberapa hari ini saya akan coba rangkumkan beberapa pemikiran beliau yang dituliskan didalam buku ini dan sampaikan kepada para sahabat, teman dan kolega semua. Semoga ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan kita semua tentang sumber daya air yang kita miliki. Budaya dan kepercayaan kita dulu terhadap sungai. Seperti apa pergeseran budaya dan perubahan cara pandang manusia modern saat ini terhadap sungai. Membuat sungai lebih baik dan terjaga. Atau justru sebaliknya semakin rusak dan hancur.
Berikut ini adalah rangkuman pertama.
Reformasi Pengelolaan Sumber Daya Air (I)
Pergeseran pandangan dan prilaku pengelolaan sumber daya air yang pertama adalah tentang water culture (budaya terkait air atau sumber daya air). Ada perubahan yang mendasar tentang budaya leluhur tentang air. Dulu masyarakat kita ada keterkaitan yang erat antara air/sungai. Contohnya bisa dilihat di Candi Prambanan dan sungai yang mengalir di samping candi tersebut, yaitu Sungai Opak. Pada zaman dahulu ketika Rakai Pikatan berkuasa, Candi Prambanan dan Sungai Opak merupakan satu kesatuan. Para brahmana bersuci (mandi) di Sungai Opak yang jernih, kemudian melakukan ritual keagamaan di kompleks Candi Prambanan. Ada keterkaitan erat antara air/sungai dengan candi. Para brahmana sangat menghargai dan menghormati air Sungai Opak. Mereka menjaga air sungai tersebut untuk dimanfaatkan sebagai tempat untuk bersuci.
Namun, kini masyarakat modern telah memisahkan Sungai Opak dengan Candi Prambanan melalui pembuatan talut (pasangan batu setinggi tiga meter) sepanjang Sungai Opak yang memisahkan dengan Candi Prambanan. Inilah kemunduran dalam kultur air. Pada zaman dahulu kebudayaan kita menyatu dengan badan air (sungai alamiah). Sedangkan sekarang masyarakat modern telah memisahkan antara badan air dengan kehidupan mereka.
Saat ini di sepanjang sungai di perkotaan seluruh Indonesia juga secara terus-menerus menjadi tempat pembuangan sampah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat modern tidak mempunyai “hati” terhadap sungai. Keterkaitan antara perasaan masyarakat yang tinggal di DAS, di tepi alur sungai, dan di bantaran sungai dengan sungai dan airnya sangat tipis. Mereka tidak merasa iba, prihatin, dan bersedih serta terusik hatinya ketika sungai mereka kotor dan dangkal karena penuh dengan sampah.
Water culture yang terdegradasi juga bisa dilihat dari banyak sungai di Indonesia yang sudah tidak memenuhi syarat sebagai sungai yang merupakan ekosistem terbuka yang terdiri atas palung sungai dan sempadan sungai. Bangunan talut atau perkuatan tebing dibangun memanjang, kemudian masyarakat menempati daerah sempadan sungai dan tepian sungai. Akhirnya, sungai tidak bisa lagi disebut sebagai sungai, tetapi tepatnya sebagai saluran air. Hal ini menunjukkan terjadinya degradasi relasi antara masyarakat dan sungai tersebut. Masyarakat secara suksesif dan terus-menerus mendesak sungai sehingga lebar sungai mengalami penyempitan hingga 30% dari ukuran semula. Daerah sempadannya sudah dipenuhi dengan rumah-rumah penduduk, bahkan beberapa hotel dan restoran dibangun mengokupasi sempadan sungai.
Degradasi sungai juga dapat dilihat dari komposisi penyusun ekosistem sungai. Dengan rusaknya flora di sepanjang sungai (karena pembangunan talut), secara otomatis fauna sungai (fauna darat dan air) mengalami degradasi. Hal ini karena salah satu elemen rantai makanannya telah hilang, yaitu flora yang tumbuh di sisi kanan dan kiri sungai. Proyek-proyek yang disebut dengan river straightening/river training atau pelurusan sungai dan penyudetan sungai masih marak di Indonesia. Proyek-proyek ini benar-benar merupakan suatu proyek yang menunjukkan bahwa pemangku kepentingan atau institusi yang bersangkutan tidak paham tentang sungai.
Masyarakat “mengokupasi” secara besar-besaran daerah-daerah pinggir sungai, yakni ditalut, kemudian didirikan bangunan persis di pinggir sungai yang tidak hanya terjadi di beberapa daerah, tetapi hampir di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan dan pengetahuan masyarakat dan instansi pemegang urusan tersebut terhadap filosofi dasar sungai, konservasi sungai, dan konservasi air. Maraknya akuptasi sungai tersebut akan menyebabkan kualitas fisik maupun biotik sungai menurun. Bangunan-bangunan perkerasan pinggir sungai jelas akan berpengaruh terhadap kualitas air sungai. Hal ini karena di sungai tidak terjadi proses purifikasi, yaitu perbaikan kualitas air sungai yang bersangkutan oleh aktivitas flora dan fauna yang ada di sungai itu sendiri. Di samping itu, konservasi air di sungai menjadi sangat minim karena air akan secepatnya dialirkan ke hilir. Akibatnya, akan terjadi banjir di hilir dan tentu saja kekeringan di bagian hulu.
72% DAS di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak. DAS terus-menerus dihancurkan. Sungai-sungai di Indonesia tidak dikelola dan dijaga dengan baik. Embung atau danau alamiah yang ada di seluruh Indonesia juga mengalami degradasi kualitas dan kuantitas secara drastis.
Bagi umat muslim, dalam Al-quran dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi untuk melakukan tatanan kehidupan yang baik atau hayatan thayyiban. Melihat suatu DAS dapat dianalogikan sebagai melihat suatu hamparan bumi (ardh) yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama Islam dikenal pembagian kawasan hima dan harim. Kawasan lindung disebut juga dengan hima. Hima adalah kawasan yang khusus dilindungi oleh pemerintah, dalam hal ini adalah imam negara atau khalifah pada zaman Rasulullah, atas dasar syariat dengan melestarikan kehidupan liar. Sementara itu kawasan harim adalah suatu wilayah yang ditujukan untuk melindungi sungai, mata air, lahan pertanian, dan permukiman. Kawasan harim menyediakan ruangan yang cukup untuk mempertahankan dan melindungi air dari pencemaran, penyediaan tempat khusus untuk istirahat binatang ternak, serta lahan yang cukup untuk pengairan (irigasi) sawah dan kebun. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik.” (QS Ala’raaf:56).
Mengenai khalifah dan amanah untuk menjaga kelestarian alam, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam Pasal 65 Ayat 1 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pada Pasal 2 juga disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bahkan pada pasal 66 dinyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Secara hukum Tuhan yang bersumber dari Al-Quran (bagi umat muslim) dan hukum pemerintah Indonesia disebutkan dengan tegas dan jelas untuk melakukan tatanan kehidupan yang baik. Berjuang untuk menyelamatkan isi bumi. Tapi sayangnya masih banyak orang-orang yang tidak peduli.
Permasalahan yang terjadi terhadap sungai adalah kembali kepada pola pikir masyarakat dan kecukupan pengetahuan masyarakat luas tentang sungai yang belum memadai. Peraturan tentang perlindungan sungai dan sumber daya air berasal dari background ilmu pengetahuan yang hanya dimiliki oleh para pembuat aturan. Masyarakat awan, seperti sopir becak, tukang kebun, pedagang kaki lima, buruh bangunan, dan sebagainya tidak mengetahui sama sekali mengenai peraturan-peraturan tersebut. Bahkan mereka mungkin belum pernah membaca atau mendapatkan penjelasan yang lebih mendalam. Reformasi pola pikir tentang sungai dan sempadan sungai perlu dilakukan, baik pada masyarakat perkotaan, semi-urban, dan masyarakat pedesaan. Reformasi diperlukan untuk mengubah paradigma lama yang menganggap bahwa sempadan sungai bisa dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan semi permanen atau permanen yang akan merusak sungai tersebut.
Sungai tidak boleh lagi dipandang sebagai saluran drainase alamiah. Sebagai tempat pembuangan limbah dan sampah padat. Sungai harus dipandang sebagai aset yang sangat vital. Sungai merupakan aset lanskap karena kekayaan lanskap merupakan aset yang bernilai ekonomi. Kelok-kelok sungai, bentuk sungai di lembah atau ngarai merupakan aset yang bisa dimanfaatkan untuk wisata guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungannya. Sepanjang sempadan sungai yang ditumbuhi vegetasi alamiahnya akan membuat sungai tersebut menjadi sehat. Mampu meresapkan air ke dalam tanah, menjadi stabilisator temperatur di daerah sekitarnya, dan menjadi habitat flora dan fauna yang hidup di daerah tersebut. Sungai menjadi aset ekologi tempat flora, fauna, dan manusia hidup dan memanfaatkan sungai.
Sungai juga harus dipandang sebagai aset sosial budaya. Tidak ada kebudayaan yang tidak bersumber dari sungai (air). Oleh karena itu sungai merupakan aset sosial budaya yang sangat penting. Dengan adanya sungai, inspirasi budaya bisa muncul. Dalam budaya tradisional, karya manusia terinspirasi dari sungai, bendungan sederhana, perahu sederhana, alat penangkap ikan, kincir air, irigasi, dan ritual-ritual adat. Dengan melihat fungsi sungai sebagai aset, perombakan pola pikir secara total harus dilakukan. Bahwa sungai yang melewati suatu wilayah atau kota adalah sebuah potensi (aset). Memiliki sungai berarti memiliki aset (kekayaan) yang sangat mahal.
Pengelolaan danau, telaga, dan situ. Masyarakat dewasa ini hanya melihat situ sebatas tampungan air. Belum melihat situ sebagai salah satu bagian penting dari badan air atau badan sumber daya air yang wajib diperhatikan dan wajib dipelihara untuk kepentingan konservasi air, mengisi air tanah, menanggulangi banjir, menjaga temperatur mikro, menjaga kelembaban udara, pariwisata, pertanian, perikanan, dan sebagainya.
Pola pembangunan situ yang sekarang berkembang adalah pola pembangunan dengan konstruksi pasangan batu, bata, dan beton. Pembangunan situ dilakukan dengan membuat atau membangun tanggul keliling pada situ. Setiap pembangunan situ diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan volume air atau membangun stabilitas tebing situ dengan berbagai macam teknik konstruksi sipil hidro.
Jika pola pikir pembangunan konstruksi keras pada situ dibiarkan terus-menerus, akan terjadi kerusakan ekosistem situ, diantaranya adalah hilangnya cadangan air dan hilangnya flora dan fauna. Kerusakan situ dimulai dengan hilangnya daerah amfibi, yaitu daerah peralihan antara wilayah air (aquatic area) dan wilayah daratan (land area). Pola pembangunan tanggul pasangan batu atau beton keliling ini otomatis akan merusak tanaman-tanaman yang hidup di pinggir situ dan mengakibatkan hilangnya air karena meningkatnya penguapan dan temperatur. Pembangunan tanggul untuk meninggikan muka air mungkin secara volumemetrik akan berhasil, tetapi dari segi ekosistem berakibat fatal.
Jika terdapat banyak tanaman di pinggir situ, tanaman tersebut akan berfungsi sebangai penahan angin (wind breaker) sehingga angin yang mengembus dapat tertahan. Hal ini mengakibatkan kecepatan angin pada permukaan danau akan melemah dan temperature akan rendah karena kanopi pohon-pohon besar menutupi danau. Dengan temperature dan kecepatan angin rendah, penguapan pun akan rendah. Hal tersebut akan mempengaruhi kestabilan atau keawetan air yang ada di danau, situ, atau telaga. Dengan pembangunan tanggul, pengerasan tebing, maupun pembuatan jalan melingkar di sekitar danau, situ, atau telaga yang umumnya disertai dengan penebangan pepohonan di sempadan dan penghilangan daerah amfibi, angin akan berhembus kencang dan temperatur naik sehingga penguapan air pun akan tinggi. Perlu diketahui bahwa penguapan atau evaporasi sebuah danau terbuka dengan kecepatan angin yang tinggi dapat mencapai 11 mm per hari sehingga dalam satu bulan dapat mencapai sekitar 32 cm (0,33m). Hal ini akan mengakibatkan kekeringan pada danau, situ, atau telaga karena airnya menguap.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa kelestarian situ, danau dan telaga sangat berpengaruh dengan adanya tanaman-tanaman di sepanjang pinggir situ, danau dan telaga tersebut. Oleh karena itu, reformasi yang diperlukan adalah pembangunan situ tidak boleh lagi dilakukan dengan cara sipil hedraulik murni.
Kesadaran religious atas air harus tumbuh. Kesadaran yang dimaksud adalah bahwa masyarakat Indonesia yang riligius-dengan berbagai agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha- tidak bisa terlepas dari urusan air. Air sangat penting, baik terkait langsung dengan ibadah maupun terkait dengan seluruh kehidupan umat manusia ini. Bukan dari segi volume, melainkan juga dari kualitasnya. Bukan hanya dari zatnya, misalnya air dari pancuran air wudu dan sumur, tetapi juga dilihat dari badan air yang ada, seperti sungai, danau, air tanah, laut, dan udara. Hal ini terjadi karena semua sumber air saling berhubungan sebagai satu siklus hidrologi.
Harus muncul kesadaran secara massal bahwa penyelamatan air dan lingkungan merupakan tanggung jawab massal yang harus dipikul secara bersama-sama dengan tanpa saling menunggu satu sama lain. Menyalahkan satu pihak dan menyuruh pihak lain untuk melakukan kegiatan penyelamatan lingkungan merupakan suatu kebodohan. Kesadaran massal tumbuh kedalam menjadi kesadaran individu dan sebaliknya, kesadaran individu itu tumbuh ke luar menjadi kesadaran massal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar