Tulisan Para pakar Geologi dunia.
*Tsunami Selat Sunda 2018*
Sangat terkejut tsunami dikaitkan dg erupsi Anak Krakatau.
Bukankah letusan Anak Krakatau yg terjadi kali ini biasa-biasa saja, seperti yang sudah-sudah. Tak istimewa. Beberapa sobat yg veteran vulkanolog beken memberi tahu saya bahwa itu letusan biasa. Hampir bersamaan saya menerima WA dr Christina dari EOS dan mengingatkan paper Christine Deplus dr IPG Paris dimana salah satu coauthor.
Pikiran kita akan kembali ke 30 tahun yg lalu saat mulai riset di Krakatau bersama tim Prancis. Bagaimana bisa dilupakan; perahu kecil yg isinya 2 teknisi Geotek disergap badai. Doa terus tak putus. Bahkan kapal mesin yg membawa peralatan geofisika milik Prancis terseret ke P. Bangka!
Kembali ke tsunami, kalau melihat paper Deplus dkk (1995) cukup sederhana. Intinya adalah pertumbuhan Anak Krakatau yg cenderung ke arah baratdaya. Pertumbuhan itu begitu cepat yg tentu sebanding aktivitas _anak super aktif_ ini. Muntahan material vulkanik dr perut Anak Krakatau yg lahir 27 Desember 1927 tepat di dinding utara Kaldera 1883 terus menumpuk dan membuat ia makin tinggi. Repotnya, sisi baratdaya tampak lebih curam dibandingkan sisi lainnya.
Tentu ini merupakan bagian yg labil dan jika _melorot_ atau longsor tentu dapat memicu tsunami. Deplus dkk menulis demikian ...... _its southwestern flank is steep and since Anak is growing toward the southwest, one cannot exclude landslides along this flank. Several few meters tsunami occured probably there in 1981 (Camus et al., 1987; Sigurdsson et al., 1991). Obviously more detailed survey of this slope should realized in the future_
Boleh jadi bagian ini yg longsor dan memicu tsunami. Para pakar tsunami dapat kiranya memodelkan lebih jauh. Pemetaan dasar laut di kompleks Krakatau adalah keharusan tak usah menunggu datangnya tsunami berikutnya. Itu tak sulit dilakukan. Barangkali yg perlu jg dipikirkan apa pemicu longsoran itu?
Tahun 2018 adalah tahun penuh kejutan bagi para ahli kebumian. Seismic swarm Lombok, Tsunami dan Land Movement Palu, dan Tsunami Selat Sunda. Ketiganya sempat membuat para ahli "kaget". Kok rasanya perlu "Grand Design" Riset Kebumian dan bencana di Indonesia. Atau sdh ada? Apalagi universitas dan lembaga penelitian sudah satu atap. Nunggu apa lagi....karena inilah saatnya era baru, paradigma baru, dalam mensikapi bencana denagn multi dimensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar