MITIGASI GEMPA DAN TSUNAMI DIDAERAH WILAYAH PERKOTAAN ( URBAN AREA DISASTER )
Judul kali ini mengetengahkan mitigasi gempa dan Tsunami di daerah perkotaan untuk
menghindari korban jiwa dan kerusakan struktur yang berada di daerah yang terkena gempa
maupun Tsunami.
Pendekatan modelling di laboratorium untuk memprediksi kerusakan
yang terjadi atau merancang struktur bangunan yang tahan gempa maupun Tsunami
merupakan hal yang paling mungkin dilakukan mengingat penelitian dengan kondisi
sebenarnya (skala penuh/full scale) merupakan hal sangat sulit dilakukan serta jika
memungkinkan akan memerlukan biaya yang sangat mahal.
Beberapa contoh modeling
dengan alat shaking table dan centrifuge serta modeling analisis dengan finite element akan
diuraikan dalam tulisan ini untuk memberikan gambaran mengenai hasil simulasi
dibandingkan dengan kondisi sebenarnya.
Pada akhirnya diharapkan hasil rancangan yang
memenuhi persyaratan jika pada akhirnya model tersebut akan dibangun.
Pendahuluan
Indonesia merupakan daerah kepulauan yang diapit lempeng Eropa Asia - Australia di
Selatan serta lempeng Pasifik dan Philipine dibagian Timur-Utara.
Pergeseran diantara
lempeng tersebut dapat mengakibatkan proses gempa terjadi disuatu titik kedalaman dan
menjalar sepanjang patahan/sesar. Jika bidang patahan terjadi didasar laut kestabilan air
laut terganggu secara vertikal maupun horizontal.
Bahkan jika gempa yang terjadi
magnitudenya besar (9 skala Richter) seperti Aceh terjadi sesar sepanjang ribuan kilometer
sehingga menyebabkan terjadinya Tsunami (Desember 2004) yang menelan korban jiwa
hampir 300.000 orang serta kerusakan infrastruktur yang amat besar.
Pada bulan Mei tahun
2006 kembali terjadi gempa tektonik di Selatan Yogyakarta juga akibat pergeseran lempeng
Asia-Australia yang juga mengakibatkan korban jiwa mendekati angka 5000 jiwa dan
kerusakan infra struktur yang besar.
Baru-baru ini di Pangandaran terjadi Tsunami dengan
gelombang setinggi 5 meter menyapu daerah Pantai Pangandaran dan lagi-lagi terjadi
korban jiwa sekitar 400 orang dan kerusakan infra struktur.
Dengan latar belakang kondisi
Indonesia yang rawan gempa dan Tsunami ini, seminar mengenai mitigasi gempa didaerah
perkotaan yang diprakarsai oleh Fakultas Teknik Unsrat ini amat tepat dan diharapkan dapat
menghasilkan sesuatu hasil positif bagi pembangunan didaerah perkotaan yang rawan
gempa dan Tsunami.
Dengan perkembangan cepat yang terjadi di perkotaan diseluruh belahan dunia, bencana
alam seperti banjir dan curah hujan diatas normal, periode musim kering yang
berkepanjangan, dan serangan angin taufan, tanah longsor dan gempa bumi adalah
ancaman umum bagi umat manusia.
Walaupun kemajuan mengenai pemahaman
permasalahan bencana alam dan mitigasi bencana alam namun bagi sebagian besar orang
masih banyak isu-isu yang belum terpecahkan.
Didalam tulisan ini penggunaan pemodelan
fisik untuk studi dari permasalahan struktur bangunan untuk memperkecil atau mengurangi
akibat gempa dan tsunami ditinjau. Pemodelan fisik geoteknik adalah instrumen yang dapat
diandalkan untuk mempelajari permasalahan struktur bangunan jika terjadi gempa dan Tsunami
Beberapa aplikasi pemodelan fisik yang sesuai dengan keadaan aslinya dengan
singkat dapat di kaji dampak gempa bumi, terutama gerakan tanah yang kuat adalah contoh dari pembebanan siklik
yang tidak beraturan yang meliputi sebuah cakupan yang utuh dari karakteristik dan
regangan geser serta karakteristik perilaku tanah dalam region. Konsekwensi pada tanah
deposit seperti liquifaksi dan kegagalan lereng, atau penurunan yang besar dalam kaitan
dengan lahan densification, dapat mengakibatkan kerusakan yang fatal pada bangunan
didaerah itu. Dengan begitu, didaerah seismic, kebutuhan akan analisis yang rasional dan
perkiraan-perkiraan objektif yang memiliki resiko harta dan kehidupan bukan hanya
kebutuhan akademis.
Pertemuan dua lempengan mengalami subduksi yang menyebakan terjadinya gempa
tektonik
Empat golongan kerusakan utama akibat gempa .
1. Ground shaking – Ini adalah gerakan tanah akibat gempa yang merupakan unsur
utama penyebab keruntuhan struktur
2. Liquefaction – Kehilangan strength pada pasir yang jenuh air akibat pembebanan
siklik. Kondisi ini menyebabkan penurunan dan pergerakan lateral dari pondasi. Yang
perlu dilakukan adalah mengidentifikasi lokasi yang berpotensi liquefaction dengan
menghindari pembangunan diatasnya, atau cara lain membuat fondasi dalam
sehingga terhindar dari liquefaction
3. Bidang patahan (fault rupture) – Ini pergerakan patahan akibat gempa. Pergerakan
dapat vertikal maupun horizontal.
4. Landslide – Sering kali terjadi sebagai akibat dari terjadinya gempa. Perlu dihindari
pembangunan diatas lereng atau dikaki dari lereng.
Tsunami
Pengertian Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang artinya Tsu berati pelabuhan dan
nami berarti gelombang. Kata ini secara mendunia sudah diterima dan secara harfiah yang
berarti gelombang tinggi/besar yang menghantam pantai/pesisir. Tsunami sendiri terjadi
akibat gempa tektonik yang besar dilaut ( lebih besar dari 7.5 skala Richter dan kedalaman
episentrum lebih kecil dari 70 km) yang mengakibatkan terjadinya patahan/rekahan vertikal
memanjang (kasus Aceh patahan mencapai ribuan kilometer) sehingga air laut terhisap
masuk dalam patahan dan kemudian secara hukum fisika air laut tadi terlempar kembali
setelah patahan tadi mencapai keseimbangan. Kecepatan air/gelombang yang sangat cepat
terjadi. Pada kasus Tsunami di Aceh kecepatannya dapat mencapai ratusan kilometer per
jam nya. Antara terjadinya gempa dan Tsunami ada jeda waktu yang dapat digunakan untuk
memberikan peringatan dini pada masyarakat. Pengalaman di Aceh menunjukkan
peringatan dini belum berjalan. Secara diagramatis
Tsunami early warning system (TEWS)
Hal sederhana yang dapat dilakukan untuk memberi peringatan dini bagi penduduk yang
berada di sekitar kota/pantai yang memiliki potensi Tsunami adalah memberi peringatan
melalui sirene atau televisi/radio lokal yang dapat dengan segera mensosialisasikan akan
terjadinya Tsunami. Menurut pengalaman di Aceh ada jeda waktu sekitar 30 menit sampai
gelombang mencapai pantai. Saat ini didaerah yang rawan seperti di Aceh dan Pangandaran
sedang disiapkan perangkat alat pendeteksi dini untuk memperkirakan terjadinya gempa
maupun Tsunami. Early warning system yang lebih sophisticated seperti pemasangan
peralatan khusus baik dilaut maupun didarat perlu melibatkan semua unsur yang memiliki
potensi untuk secara cepat memberikan peringatan dini.
diagram design early warning untuk Tsunami lokal di Indonesia (sumber BMG)
Mitigasi bencana gempa/Tsunami
Jepang telah membangun dinding penahan Tsunami setinggi 4,5 pada daerah pantai yang
padat penduduk. Namun ketika gempa tahun 1993 menimpa Hokaido, tinggi gelombang
Tsunami mencapai 30m. Dinding penahan terlampaui namun tetap dapat mengurangi
kecepatan dari Tsunami. Korban jiwa tetap tidak terhindarkan. Dinding semacam ini dapat
digunakan di Aceh atau daerah lainnya (Pangandaran) yang rawan Tsunami, namun
efektivitas dinding penahan tersebut perlu dilakukan penelitian. Pembuatan model dengan
alat centrifuge dan melakukan uji di laboratorium dapat mensimulasikan tinggi gelombang
yang dikehendaki.
Mitigasi harus memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk mengurangi pengaruh
dari bencana dan kondisi yang peka dalam rangka untuk mengurangi bencana yang lebih
besar dikemudian hari. Karena itu seluruh aktivitas mitigasi difokuskan pada bencana itu
sendiri atau bagian/elemen dari ancaman.
Beberapa hal untuk rencana mitigasi (mitigation plan) pada masa depan dapat dilakukan
sebagai berikut:
1) Perencanaan lokasi (land management) dan pengaturan penempatan penduduk
2) Memperkuat bangunan dan infrastruktur serta memperbaiki peraturan (code) disain
yang sesuai.
3) Melakukan usaha preventif dengan merealokasi aktiftas yang tinggi kedaerah yang
lebih aman dengan mengembangkan mikrozonasi
4) Melindungi dari kerusakan dengan melakukan upaya perbaikan lingkungan dengan
maksud menyerap energi dari gelombang Tsunami (misalnya dengan melakukan
penanaman mangrove sepanjang pantai)
5) Mensosialisasikan dan melakukan training yang intensif bagi penduduk didaerah area
yang rawan Tsunami
6) Membuat early warning sistem sepanjang daerah pantai/perkotaan yang rawan
Tsunami
dsementara diagram dari mitigation planing proses (case study dari
Regional all hazard mitigation Master Plan for Benton, Lane and Liin county, USA ).
berupa 7
langkah yang perlu diantisipasi. Dimulai dari asesmen resiko bencana sampai dengan
penyediaan dana untuk pembangunannya. Mitigasi pada langkah keempat dihentikan jika
risk atau toleransi dapat diterima. Jika tidak rencana dilanjutkan sampai langkah ketujuh
yang merupakan prioritas dari mitigasi proyek yang diperlukan yaitu menyediakan
pendanaan untuk mewujudkan.
Perkembangan terbaru untuk meramalkan terjadinya gempa adalah dengan adanya awan
diatas daerah terjadinya gempa. Menurut Sarmoko (peneliti di LAPAN) awan misterius
tersebut tercipta akibat pergumulan uap air panas yang muncul dari rekahan permukaan
bumi dengan udara dingin di angkasa. Uap air panas yang bertekanan tinggi melesak dari
tanah sebagai dampak aktivitas seismik tingkat tinggi diperut bumi Memang hasilnya baru
sekitar 60% kecocokannya dengan gempa yang terjadi. Sebagai contoh ketika terjadi gempa
di Kobe pada tahun 1995 terjadi awan berbentuk seperti angin tornado terlihat dikota Kobe
sebelum gempa terjadi. Meski terbukti kebenarannya para peneliti belum menggunakan
prediksi gempa lewat awan yang terjadi untuk konsumsi publik. Gempa dapat terjadi 4-5 hari
setelah penampakan awan gempa bisa juga terjadi setelah 130 hari kemudian melihat
pengalaman yang terjadi di Jepang, AS dan China. Pemantauan satelit awan gempa
merupakan terobosan besar untuk mitigasi bencana gempa. Penelitian lanjutan masih terus
dikembangkan dengan megklarifikasi lewat satelit.
DAMPAK
Kerusakan pada Fondasi Dangkal akibat gempa
Fondasi dangkal secara luas banyak digunakan didaerah-gempa untuk struktur skala kecil
sampai skala menengah. Daya dukung fondasi dangkal berkurang pada waktu terjadinya
momen akibat gaya horizontal ketika terjadi gempa. Mekanisme kegagalan yang terjadi
dapat dimodelkan dengan dengan teknik Particle Image Velocimetry (PIV), yang banyak
digunakan pada mekanika fluida untuk mengukur defleksi. menunjukkan
mekanisme keruntuhan menurut Prandtl. terlihat pengaturan model uji pondasi strip diatas lapisan pasir dengan
menggunakan shaking table (Knappet et,all.,2004). Shaking table bekerja berdasarkan
momentum sudut penyimpanan (storing angular momentum) dari motor roda penggerak,
kemudian dikonversikan menjadi gerakan horizontal melalui sebuah motor dengan
memberikan gerakan sinusoidal input pada frekwensi tunggal.
Di tuang di blog oleh. :
DSM.IBRAHIM DaSilva
atau Mbah Brohem / Gus brohem
( MBAH BRO / GUS BRO )
Guna mendukung para satgas bencana maupun para relawan utamanya khusus utk para personal TAGANA INDONESIA
guna memahami dan mengenal karakteriatik lbh dalam dan detail dalam melakukan MITIGASI dan MAPPING dampak dari
BENCANA MULTI LATERAL dan DIMENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar