Disaster

Jumat, 02 Februari 2018

BENCANA MULTI DIMENSI INDONESIA DAN KESEIMBANGAN EKOLOGY Yang KEBERLANJUTAN

BENCANA EKOLOGI INDONESIA DAN KEBERLANJUTAN

Bencana adalah situasi dimana jalan untuk menjalani Masyarakat yang normal telah gagal sebagai akibat dari kejadian malapetaka yang luar biasa, baik karena kejadian alam atau tindakan manusia (Sphere Project, 2000).

Indonesia adalah negara yang rawan dan rentan terhadap bencana alam, baik yang berasal dari efek yangterjadi dari aktivitas manusia. Dalam lima tahun, bencana 1998-2004 terjadi 1150 kali, dengan 9900 orang meninggal dan juga kerugian sebesar USD 5922 miliar. Tiga bencana besar adalah banjir (402 kali, korban 1144 orang, kerugian 647,04 miliar USD), kebakaran (193 kali, korban 44 orang, kehilangan 137,25 miliar USD) dan tanah longsor (294 kali, korban 747 jiwa, 21 kerugian, 44 miliar USD) -PBP 2005.

Menarik, karena ketiga bencana itu adalah bencana buatan manusia. Kartodihardjo dan Jhamtani menyebut ini sebagai perkembangan bencana, yang didefinisikan sebagai kombinasi faktor yang menyebabkan krisis lingkungan dan perkembangan fenomena alam itu sendiri, yang diperparah oleh penghancuran sumber daya alam dan lingkungan dan ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial. Oleh karena itu makalah ini ingin menyoroti bencana yang timbul dari buatan manusia dan kelalaian terhadap lingkungan dan aset alam dan tidak membahas bencana murni karena fenomena alam seperti tsunami dan gempa bumi.

Satu Sikap dan Pikiran Managent Bencana

Bencana seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor sering dianggap sebagai bencana alam dan juga takdir. Padahal fenomena tersebut, lebih sering terjadi karena mismanajemen lingkungan dan aset alam, yang terjadi secara akumulatif dan terus berlanjut.

Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani, banjir meliputi 32,96% dari jumlah bencana, sementara tanah longsor mewakili 25,04% dari total bencana. Padahal, di pesisir Jawa3, selama periode 1996 sampai 1999 saja, setidaknya ada 1289 desa yang terkena dampak banjir. Jumlah tersebut meningkat hampir 3 kali (2.823 desa) sampai akhir tahun 2003, yang juga merupakan implikasi dari penghancuran ekosistem pesisir akibat konversi lahan, penangkapan ikan yang merusak, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di pulau Jawa, yang terletak di sepanjang pantai utara Jawa) - (Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, 2006).

Selain banjir, kekeringan merupakan bencana yang semakin sering terjadi di Indonesia. Akhir-akhir ini, musim kemarau di Indonesia telah menjadi bangunan yang panjang dan tidak teratur, meskipun secara geografis dan alami berada di jalur El Nino-Southern Oscillation (ENSO). Misalnya, meski kering 2003 termasuk yang normal, namun tercatat 78 kekeringan di 11 provinsi, dengan dampak terburuk adalah wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dampak utama kekeringan yaitu berkurangnya ketersediaan air, baik di waduk maupun sungai, yang terburuk adalah pulau jawa (Status Lingkungan Indonesia 2004, Jakarta, KLH). Sekuel dampak ada di sektor air, produksi pangan dan pasokan listrik. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan karena cuaca yang kering memicu perluasan hutan dan kebakaran lahan serta penyebaran asap.
Dampak dari bencana ini tidak hanya pada hilangnya nyawa dan harta benda, namun juga berdampak pada produksi pertanian, pencemaran sumber air serta isu sosial yang lebih luas seperti pengungsi dan migrasi.
Meskipun frekuensi bencana telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah tidak melakukan studi menyeluruh terhadap pola dan sebab bencana tersebut.

Ancaman signifikan terjadi pada tiga sektor utama yang merupakan prasyarat bagi keberlanjutan hidup, yaitu air, makanan dan energi. Untuk air, ancaman terbesar berasal dari meningkatnya permintaan secara signifikan dan semakin terbatasnya ketersediaan konsumsi air yang layak. Batasan berasal dari penurunan kualitas air (akibat polusi, gangguan dan kerusakan sumber air) dan jumlah air (akibat privatisasi, komodifikasi distribusi air dan inefisiensi). Di Jakarta, misalnya, warga yang terhubung dengan jaringan Perusahaan Air Minum (PAM), berjumlah kurang dari 51 persen dari total penduduk. Akibatnya, kebanyakan warga mengambil air tanah (sumur, atau pompa) dan juga membeli air kemasan atau penjual air di sekitarnya. Padahal, sekitar 70 persen air tanah di Jakarta menunjukkan kondisinya tidak memenuhi syarat sebagai air minum yang diijinkan. Akibat air mengubah esensi kebutuhan dasar suatu komoditi. (Pada tahun 2004, Jakarta memiliki populasi 8.792.000 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 0,8% dan memiliki 2.322.178 rumah tangga. (CBS, 2003) Pemantauan terhadap 48 sumur yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2004. Hasil pemantauan menunjukkan 27 sumur yang memiliki polusi berat dan najis, dan 21 sumur lainnya diindikasi ringan menghitam dan dalam kondisi baik. Wilayah yang memiliki kualitas air terburuk adalah Jakarta Utara karena kawasan ini umumnya digunakan untuk kawasan industri dan padat hunian.

Tidak ada komentar: