Disaster

Minggu, 27 Maret 2022

SOSOK AMIR SYARIFUDDIN KECERDASANNYA BAGIAN DARI SEJARAH KELAM BAGI IDIOLOGY PANCASILA DAN NKRI

SOSOK AMIR SYARIFUDDIN:

PROLOG
Lahir sebagai muslim yg taat satu di antara sosok inspirasitif yg penting terwujudnya sumpah pemuda -2, salah satu pencetus  berdirinya cikal bakal GMNI ( Kristen ),  salah satu pencetus lahirnya faham komunis di nusantara, salah satu pula berdirinya gerakan anti fasisme dgn cara kerjasama dgn belanda,  dan pendiri PNI, PARTINDO, GERINDO dan tikoh pendiri FDR dgn gabungab partai berfaham komunis lalu dgn kecerdasannya pula FDR merubah menjadi PKI )*

Mantan Perdana Menteri Indonesia, Amir Syarifuddin dikenal sebagai politikus ulung nan licin namun harus dihukum mati karena terlibat pemberontakan di Madiun 1948.

Memilih simpang kiri jalan, petualangan politik pada akhirnya membawa Amir Syarifuddin Harahap ke lubang penderitaan.

Amir merupakan pejuang, sosok penting dalam sejarah, seperti juga Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir sebelum prahara 1948 di Madiun membuatnya terpinggirkan.

Dia Lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907, Amir dibesarkan sebagai seorang muslim. 
Dalam catatan sejarah, Amir disebut sebagai muslim taat yang menjadi politikus licin di kemudian hari.

Amir terpelajar berkat pendidikan Belanda. Dia memulainya di Europeesch Lagere School (ELS) atau sekolah berbahasa Belanda di Medan yang diperuntukkan golongan keluarga terpandang pada 1914-1921.

Berbekal intelektualitas Amir kemudian melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda. Dia mendapat tawaran saudaranya, Todung Sutan Gunung (TSG) Mulia, yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad.

Pria yang gemar menghisap tembakau dengan pipa cangklong itu menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Harleem dan aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen. 

Satu di antaranya CSV-op Java yang menjadi cikal bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

Amir tak bisa menamatkan pendidikan di Leiden karena masalah keluarga. 
Pada 1927 ia kembali dan melanjutkan studi dan lulus dari Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (Jakarta).

Pada usia 24, tepatnya tahun 1931, Amir memutuskan untuk pindah keyakinan atau agama. 
Proses itu terjadi seiring ketertarikan Amir dengan gerakan kiri.

Meski berpindah keyakinan, Amir tetap menjadi seorang yang taat. Menurut Amir, komunisme dengan ajaran Kristen tak perlu dipertentangkan karena keduanya membicarakan kemanusiaan. 

Hal tersebut merupakan proses pencarian personal secara spiritual yang lazim dilakukan oleh tokoh-tokoh besar. 
Amir mencoba mencari jawaban terhadap persoalan yang dihadapi.

Amir punya karakter untuk mencari semacam kebenaran spiritual terhadap posisinya. Itu hal yang umum di antara kita bahwa kita mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan juga hal yang kita anggap cocok dengan diri kita.

Menurut saya tak ada yang mesti dipertentangkan antara komunisme dengan suatu agama tertentu. Sebab, pemahaman komunisme pada masa itu bukan merupakan antitesis terhadap agama sebagaimana yang berkembang belakangan ini.

Kalau dalam konteks masyarakat saat itu, dia [komunisme] menjadi sebuah jawaban. Orang mencari jawaban terhadap situasi pada masa kolonial yang bisa keluar dari masalah dan jawabannya saat itu, ya, PKI, komunisme, yang paling di depan katakanlah dalam menyuarakan antikolonialisme dan antiimperialisme.

Peran Amir di masa pergerakan nasional terbilang penting. Kongres Pemuda II yang menelurkan ikrar Sumpah Pemuda tahun 1928 menjadi titik tolak Amir dalam perjuangan meraih kemerdekaan.

Ia turut berperan serta dalam agenda tersebut mewakili Jong Sumatra dan ikut membidani kelahiran Jong Batak. 
Amir menjadi Bendahara.

Amir sempat bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) Sukarno sebelum menggagas Partai Indonesia (Partindo) seiring PNI dibubarkan. 

Pada Mei 1937, Amir bersama rekannya seperti Adnan Kapau Gani, Mohammad Yamin, Sanusi Pane, dan lainnya membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah kelompok berpaham kiri yang antifasis.

Dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan yang diangkat dari skripsi Soe Hok Gie, Amir ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada 1940. Ia diberi pilihan, diasingkan ke Boven Digoel atau bekerja sama dengan pemerintah melawan fasisme Jepang.

Setelah berkonsultasi dengan Gerindo, Amir memilih pilihan kedua.

Amir diberikan 25 ribu gulden oleh Van Der Plass untuk menjaring kekuatan bawah tanah.

Dalam pertemuan di Rawamangun, Jakarta, bersama dengan sejumlah tokoh seperti Pamudji (tokoh PKI ilegal), Subekti dan Atmadji (Gerindo), Sujoko (Barisan Rakyat Solo), Widarta (Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia), Kiai Mustofa, serta Liem Koen Hian, lahir sebuah Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf).

Gerakan bawah tanah itu pada kenyataannya mudah terbongkar oleh Jepang, yang ketika itu sudah mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda. 

Pada 1943, Amir bersama sejumlah orang di kelompoknya ditangkap. Amir dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Jepang, namun selamat berkat intervensi Sukarno dan Hatta.

Amir diberikan kepercayaan oleh Sukarno untuk menjadi Menteri Penerangan pada 2 September 1945 hingga 12 Maret 1946 di Kabinet Presidensial. Pada masa itu, ia mengeluarkan maklumat tentang kebebasan pers.

Kemudian, Amir menjabat Menteri Pertahanan merangkap Wakil Perdana Menteri. 
Kecakapan dan kecerdasan Amir, menjadi faktor ia bisa dipercaya untuk mengambil bagian dalam kabinet.

Semasa menjabat Perdana Menteri, Amir disibukkan dengan pelbagai polemik. Satu di antaranya terkait dengan ambisi Belanda yang masih ingin kembali menguasai Indonesia. Peristiwa penting ketika itu adalah Perjanjian Renville pada Januari 1948 yang menjadi latar belakang kejatuhan Amir.

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Republik Indonesia dengan Belanda akibat sengketa kedaulatan Indonesia. 

Perjanjian dianggap merugikan bangsa Indonesia karena berdampak pada penarikan pasukan tentara di sejumlah wilayah yang tak mau dilepas Belanda sebelum terbentuk Republik Indonesia Serikat.

Belanda menguasai wilayah-wilayah penghasil pangan dan sumber daya alam.

Wilayah Indonesia terkungkung wilayah sengketa yang dikuasai Belanda, sekaligus mencegah masuknya pangan, sandang, dan senjata ke wilayah Indonesia. 

Indonesia mengalami blokade ekonomi yang diterapkan Belanda.

Kesepakatan dalam perjanjian tersebut dianggap merugikan kedudukan Indonesia. Banyak pihak termasuk partai-partai pendukung seperti Masyumi dan PNI mengutuk keras Amir selaku ketua delegasi. Sukarno pun meminta Amir meletakkan jabatan.

Amir sejak itu memilih jadi oposisi di masa Kabinet Hatta. Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berdiri dengan Amir menjadi salah satu pentolannya menentang keras kabinet Hatta.

FDR merupakan gabungan dari Partai Sosialis, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Partai Buruh, PKI, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Hampir seluruhnya adalah organ berpaham kiri.

Mereka menuntut agar kesepakatan Renville dibatalkan hingga menghentikan pelbagai perundingan dengan Belanda.

Aksi FDR semakin berkembang seiring kembalinya tokoh PKI, Musso, dari Moskow, Uni Soviet, pada Agustus 1948. Satu bulan berikutnya, Musso membentuk politbiro PKI di mana Amir ditempatkan pada bagian pertahanan.

FDR diubah menjadi PKI. Lalu melancarkan pemberontakan dan berhasil menguasai sejumlah wilayah seperti Madiun, Kediri, Purwodadi, Ponorogo, Blitar, dan Nganjuk. Di Madiun, mereka memproklamasikan 'Soviet Republik Indonesia'.

Pemerintah Indonesia lantas mengambil tindakan tegas dengan menggelar operasi militer dengan sasaran utama yakni Madiun, Purwodadi, dan Pacitan. Operasi militer membuat posisi PKI di Madiun semakin terdesak. Kondisi semakin sulit ketika Musso ditembak mati pada Oktober 1948.

Kelompok Amir hanya dapat bertahan sampai 29 November 1948. Mereka sempat mengembara mengitari Gunung Wilis dan Gunung Lawu. 
Persembunyian Amir dan beberapa orang lainnya di Desa Klambu, Grobogan, terendus dan pada akhirnya mereka menyerah kepada Pasukan Kala Hitam yang dipimpin Kemal Idris.

Amir sudah susah payah, kurus, dan pincang. Ia menderita disentri.

Harry Poeze, dalam bukunya berjudul Madiun 1945, menggambarkan mantan perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu saat tertangkap. Pipa cangklong yang biasa tak terpisahkan darinya, absen.

Dia dibawa ke Kudus untuk kemudian berlanjut ke Yogyakarta dengan kereta khusus.
Amir sempat diberikan buku Romeo and Juliet karya William Shakespeare oleh Kolonel Soeharto yang bertugas menjaganya.

Sesampainya di Yogyakarta, Amir, Soeripno, dan Hardjono ditahan di penjara Benteng lalu dibawa ke Solo.

Lantas pada tengah malam pada 19 Desember 1948 tepatnya di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, 20 orang penduduk Desa Karangmojo menggali lubang 1,7 meter atas perintah tentara.

Lubang itu disiapkan untuk Amir, Maruto Darusman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangku.

Buku Madiun 1948 PKI Bergerak gubahan Harry A. Poeze menuturkan percakapan singkat menjelang Amir dkk dieksekusi.

Mulanya, seorang letnan tentara menerangkan adanya surat perintah Gubernur Militer Gatot Subroto mengenai eksekusi mati bagi 11 orang tersebut.

"Apakah saudara sudah mengikhlaskan saya dan kawan-kawan saya?" tanya Amir.

"Saya tinggal tunduk perintah," balas letnan.

"Apakah saudara sudah memikirkan yang lebih jernih?" ujar Amir lagi.

"Tidak usah banyak bicara," kata letnan.

"Saya tidak menyalahkan saudara, tetapi dengan ini negara yang rugi," timpal Djokosudjono.

Letnan memerintahkan anak buahnya dalam regu tembak untuk mulai mengisi bedil.

Amir lantas menghampiri sang letnan. Sambil menepuk badan letnan ia berkata, "beri kami waktu untuk bernyanyi sebentar".

Letnan memenuhi permintaan tersebut. Sebelum bernyanyi, mereka menulis surat atas usul yang dilontarkan kali pertama oleh Suripno.

Kemudian, Amir dkk mengumandangkan lagu Indonesia Raya dan Internasionale, lagu kaum buruh sedunia. Setelah selesai bernyanyi, Amir berseru: Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!

Kemudian, mereka ditembak satu per satu. Dimulai dari Amir.

Sumber:đŸ“•orang orang kiri di persimpangan