*GEOTEKTONIK PULAU JAWA*
===============
[ *Zona Rekahan* ]
Semua berpangkal dari geologi pulau Jawa yang khas. Pulau terpadat penduduknya di dunia ini dibentuk oleh interaksi konvergen antara dua lempeng tektonik besar dunia. Yang pertama adalah lempeng Sunda (Eurasia) yang bersifat kontinental (kerak benua) dan relatif stabil. Dan yang kedua adalah lempeng Australia yang oseanik (kerak samudera) dan bergerak relatif ke utara pada kecepatan antara 60 hingga 70 mm/tahun. Interaksi konvergen antara kedua lempeng tektonik besar ini menghasilkan subduksi (penyelusupan atau tunjaman). Karena berat jenis lempeng Australia lebih besar dibanding lempeng Sunda, maka lempeng Australia melekuk di sepanjang batas konvergensi untuk kemudian menunjam di bawah lempeng Sunda dengan membentuk sudut miring terhadap paras Bumi. Di sisi lempeng Sunda, subduksi tersebut membuat bagian lempeng Sunda di sini menjadi membengkak (menggelembung). Inilah yang kemudian muncul di atas paras air laut sebagai pulau Jawa. Batas konvergensi tersebut secara kasat mata terlihat sebagai palung laut. Yakni bagian dasar laut yang sempit mirip parit namun sangat dalam. Palung tersebut dikenal sebagai palung Jawa dengan titik terdalam (7.725 meter dpl) di lepas pantai Kebumen-Purworejo sejarak 260 km dari garis pantai. Titik ini sekaligus merupakan titik terdalam di Samudera Indonesia.
Seperti halnya subduksi di tempat lain, subduksi Jawa pun menampakkan sejumlah gejala yang khas. Misalnya busur pegunungan bawah laut yang sejajar dengan palung Jawa, yang dikenal sebagai busur luar Jawa. Busur luar Jawa terletak tepat di sisi utara palung Jawa dan sebagian diantaranya merupakan prisma/baji akresi. Prisma akresi merupakan akumulasi batuan sedimen campur-aduk yang tertumpuk dan tertekan kuat. Di antara busur luar dan daratan pulau Jawa terbentang cekungan yang juga ditimbuni sedimen, sebagai cekungan busur muka (forearc basin). Gejala lainnya adalah eksistensi vulkanisme yang memunculkan jajaran gunung-gemunung berapi andesitik. Jajaran tersebut membentuk busur dalam Jawa yang vulkanis (busur luar Jawa bersifat non vulkanis). Dan zona Benioff-Wadati sebagai zona sumber gempa bumi tektonik dengan kedalaman hiposentrum yang kian bertambah seiring kian menjauh dari palung. Gejala-gejala tersebut disebabkan oleh pergesekan antara sisi atas lempeng Australia yang telah menyelusup dengan sisi bawah lempeng Sunda yang membengkak. Kawasan pergesekan ini dikenal pula sebagai zona subduksi dan eksis hingga kedalaman 60 km dpl.
Zona subduksi Jawa merupakan sistem penunjaman yang bersifat tegak (frontal). Maksudnya, sumbu palung Jawa (yang berarah barat-timur) adalah relatif tegak lurus terhadap arah gerak lempeng Australia (yang berarah ke utara). Subduksi semacam ini membuat segenap gerakan lempeng Australia diakokmodasi sepenuhnya oleh zona subduksi Jawa. Sebagai akibatnya, maka tidak sempat terbentuk sistem patahan besar yang aktif di cekungan busur muka maupun daratan pulau Jawa sebagaimana halnya yang dialami pulau Sumatra. Sistem patahan besar aktif merupakan pusat konsentrasi gempa-gempa tektonik dangkal di daratan. Ini membawa pulau Jawa pada konsekuensi berikutnya, dimana gempa-gempa tektonik dangkal di daratan pulau Jawa tersebar di sejumlah titik, mengikuti sesar-sesar aktif nan pendek yang terbentuk di sana-sini.
Sekujur zona subduksi Jawa merupakan sumber gempa bumi tektonik potensial. Ia juga menjadi sumber potensial bagi tsunami, sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi. Sebabnya adalah pergesekan antarlempeng (interplate), antara sisi atas lempeng Australia yang telah menyelusup dengan sisi bawah lempeng Sunda yang membengkak. Area pergesekan tersebut tidak memiliki pelumas sehingga subduksi kerap tersendat-sendat atau malah bahkan tertahan, bergantung pada sifat batuannya. Istilah teknisnya terkunci (locked). Bila subduksi terkunci sementara dorongan dari lempeng Australia selalu terjadi, maka zona subduksi akan turut terdorong ke mendekati daratan pulau Jawa (terdorong ke utara) secara perlahan mengikuti gerakan lempeng Australia. Gerakan tersebut tak dapat dirasakan manusia, namun bisa diindra dengan mudah melalui radas (instrumen) pengukur koordinat berakurasi tinggi. Situasi berbeda akan dijumpai bila subduksinya tak terkunci, maka zona subduksinya akan bergerak relatif berlawanan arah dibanding arah gerak lempeng Australia, yakni menuju samudera (ke arah selatan).
Subduksi yang terkunci ini tak bisa berlangsung untuk seterusnya. Apabila akumulasi dorongan lempeng Australia telah mulai melebihi ambang batas daya tahan batuan di area pergesekan antarlempeng, maka pematahan pun terjadilah. Terbitlah apa yang kita kenal sebagai gempa bumi tektonik. Gempa tektonik di zona subduksi umumnya memiliki sifat pematahan anjak miring (oblique thrust), mengikuti kemiringan lempeng Australia yang menyelusup. Saat gempa ini terjadi, maka kuncian pada subduksi sontak terlepas. Sehingga zona subduksi terdorong ke arah berlawanan dibanding semula, yakni ke arah samudera (menjauhi daratan pulau Jawa), dalam waktu relatif singkat. Jarak yang ditempuh zona subduksi kala terdorong ini disebut jarak lentingan (slip). Magnitudo (kekuatan) gempanya sangat bergantung pada zona rekahan atau zona-pecah, yakni luas area yang terpatahkan, dan besarnya pelentingan. Semakin luas area yang terpatahkan, maka semakin besar lentingan zona subduksinya dan semakin besar pula magnitudo gempanya.
Sebagai gambaran, gempa tektonik bermagnitudo 6 disebabkan oleh terbentuknya zona rekahan seluas 20 x 10 kilometer persegi yang melenting sejauh rata-rata 20 cm. Sementara gempa bermagnitudo 7 disebabkan oleh timbulnya zona-pecah yang lebih besar yakni seluas 50 x 25 kilometer persegi dengan lentingan rata-rata sebesar 100 cm. Dan gempa magnitudo 8 disebabkan oleh terbentuknya zona rekahan yang lebih luas lagi, yakni seluas 200 x 100 kilometer persegi, dengan jarak lentingan rata-rata adalah 200 cm. Mulai dari magnitudo 8 atau lebih, gempa tektonik di zona subduksi mendapatkan kehormatan menyandang nama gempa akbar atau gempa megathrust. Nama tersebut melekat karena pada magnitudo itu zona-pecahnya demikian besar dan begitu pula lentingannya.
Dengan sifat pematahan anjak miring, maka pelentingan pada gempa tektonik di zona subduksi selalu diimbangi oleh gerak vertikal (pengangkatan). Bila magnitudo gempanya besar (melebihi 6,5) dan sumber gempanya dangkal (kurang dari 50 kilometer dpl), maka gerak vertikal akan menyebabkan dasar laut di atas sumber gempa terangkat. Pengangkatan dasar laut inilah yang bisa memproduksi tsunami. Yakni saat kolom air laut di atas sumber gempa berolak dan berusaha memulihkan kembali kesetimbangannya. Pada dasarnya semakin besar magnitudo gempa di zona subduksi Jawa, maka akan semakin luas area dasar laut yang terangkat dan semakin besar pula pengangkatannya. Sehingga magnitudo tsunaminya pun akan semakin besar. Tetapi ada perkecualian. Sebuah gempa tektonik di zona subduksi dengan magnitudo yang lebih kecil dapat menghasilkan tsunami yang magnitudonya lebih besar. Inilah gempa-ayun. Mengacu pada kejadian tsunami 1994 dan 2006 di pulau Jawa serta tsunami 2010 di pulau Sumatra, maka perkecualian ini hanya akan terjadi apabila sumber gempa berada di prisma akresi. Dengan kata lain, perkecualian ini hanya muncul apabila episentrum gempa tepat berada atas rekahan lempeng
Subduksi yang membentuk pulau Jawa telah berlangsung sejak 150 juta tahun silam. Dengan usia demikian tua maka subduksi Jawa dapat dikatakan relatif lebih padat dan stabil dibandingkan, katakanlah, subduksi sejenis di Samudera Pasifik seperti subduksi Chile maupun Alaska. Baik subduksi Chile atau Alaska dikenal sebagai pembangkit gempa akbar, masing-masing Gempa Chile 22 Mei 1960 (magnitudo 9,6) dan Gempa Alaska 27 Maret 1964 (magnitudo 9,2). Keduanya juga memproduksi tsunami dahsyat berenergi tinggi sehingga berkemampuan menyeberangi Samudera Pasifik tanpa mengalami susut energi signifikan. Akibatnya ia sanggup menghasilkan kehancuran dan kerusakan signifikan di pesisir yang berseberangan dari sumber tsunaminya, ribuan kilometer jauhnya.
Subduksi Jawa diperkirakan tidak memiliki potensi melepaskan gempa dan tsunami semacam itu. Jika umur subduksi dan kecepatan subduksi dipertimbangkan dengan menggunakan persamaan empiris Kanamori (Kanamori, 1986), maka dapat diprakirakan bahwa magnitudo maksimum dari gempa tektonik di zona subduksi Jawa adalah 7,5. Cukup mengesankan bahwa prakiraan ini ternyata hampir mendekati realitas, seperti diperlihatkan Gempa Banyuwangi 3 Juni 1994 (magnitudo 7,8) dan Gempa Pangandaran 17 Juli 2006 (magnitudo 7,7). Harus digarisbawahi bahwa prakiraan ini berdasar persamaan empiris. Sehingga tetap ada peluang subduksi Jawa untuk melepaskan gempa yang lebih besar bahkan hingga gempa akbar sekalipun.
Apalagi setelah kejadian Gempa akbar Sumatra-Andaman 26 Desember 2004 yang meluluhlantakkan propinsi Aceh dan merenggut korban jiwa sangat besar, terdapat konsensus di di kalangan ilmuwan kegempaan bahwa zona subduksi dimanapun kini harus dipandang berbahaya (berpotensi melepaskan gempa besar/akbar dan tsunaminya) sebelum benar-benar terbukti tak berbahaya. Sebab dalam kasus Gempa Sumatra-Andaman 26 Desember 2004, zona subduksinya pun tergolong tua (yakni 55 hingga 90 juta tahun). Dan persamaan empiris Kanamori memprakirakan magnitudo maksimum dari gempa tektonik yang bisa dilepaskan zona subduksi Aceh berkisar pada 7 hingga 8. Nyatanya Gempa Sumatra-Andaman 26 Desember 2004 justru jauh lebih besar, dengan magnitudo antara 9,1 hingga 9,3. Dari realitas inilah tak mengherankan bila dalam menyusun peta bahaya tsunami dan peta evakuasi tsunami di pesisir selatan pulau Jawa, magnitudo maksimum dari gempa hipotetis yang dijadikan dasar penyusunan peta (dengan multiskenario sumber) adalah 8,5.
[Distribusi episentrum gempa-gempa tektonik di pulau Jawa dan zona subduksinya, terhitung sejak 1 Januari 1980 TU hingga 1 Januari 2015 TU oleh Incorporated Research Institutions for Seismology (IRIS). Data dibatasi hanya pada gempa tektonik dengan kedalaman sumber kurang dari 70 kilometer dpl. Angka 2006 dan 1994 masing-masing menunjukkan dua sumber gempa masalalu di busur luar Jawa, yakni Gempa Pangandaran 17 Juli 2006 dan Gempa Bangyuwangi 3 Juni 1994. Sementara angka 2009 merupakan sumber gempa masalalu di cekungan busur muka, yakni Gempa Tasikmalaya 2 September 2009. Sumber: IRIS, 2015].
Terhitung dari Selat Sunda di sebelah barat hingga Selat Bali di sebelah timur, panjang zona subduksi Jawa adalah 1.100 kilometer. Ini hanya sedikit lebih pendek ketimbang panjang zona rekahan Gempa Sumatra Andaman 26 Desember 2004 (yakni 1.300 kilometer). Bila segenap zona subduksi Jawa terpatahkan dalam satu peristiwa tunggal, dengan perkiraan lebar zona subduksinya 200 kilometer, maka gempa akbar yang dihasilkannya bisa mencapai magnitudo 9,2. Namun berkaca pada peristiwa tsunami (Tsunami 1994 dan Tsunami 2006) serta gempa-gempa besar abad ke-19 TU (Gempa 1840, Gempa 1867 dan Gempa 1875), maka patut diduga bahwa zona subduksi Jawa pun tersegmentasi (tersekat-sekat). Ini serupa dengan zona subduksi Sumatra.
Hanya saja jika segmentasi subduksi Sumatra telah teridentifikasi relatif lebih baik lengkap dengan siklus kegempaan maksimal tiap segmen, yang berulang setiap antara dua hingga enam abad sekali, tidak demikian halnya dengan Jawa. Busur luar Jawa yang sepenuhnya berada di bawah air laut, berbeda dengan busur luar Sumatra yang muncul di sejumlah lokasi sebagai pulau Simeulue, Nias, Enggano dan Kepulauan Mentawai. Akibatnya tiada radas pengukur koordinat geodetik (yakni GPS berpresisi sangat tinggi yang khusus digunakan untuk survei geodesi) yang bisa ditempatkan di busur luar Jawa untuk mengukur naik-turunnya busur luar Jawa dari waktu ke waktu. Juga tidak terdapat karang atol kecil (mikroatol) yang bisa digunakan untuk pengukuran serupa hingga ratusan atau bahkan ribuan tahun ke masa silam. Ketiadaan ini membuat para ilmuwan kegempaan dipaksa bersandar hanya pada lapisan-lapisan endapan tsunami purba. Aktivitas pencarian endapan tsunami purba dan pengukuran waktu pengendapannya (dengan teknik pertanggalan radioaktif) kini sedang gencar-gencarnya dilakukan di pesisir selatan Jawa oleh sejumlah lembaga terkait.
Beberapan temuan yang telah mengemuka misalnya bukti terjadinya peristiwa Tsunami 1921 dan Tsunami 1930 seperti dipaparkan tim ilmuwan gabungan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) dan ITB (Institut Teknologi Bandung). Endapan kedua peristiwa tersebut tersingkap baik di pantai Teleng (Kabupaten Pacitan) dan pantai Prigi (Kabupaten Trenggalek). Juga endapan dari peristiwa tsunami besar empat abad silam yang tersingkap di pantai Cikembulan di dekat Pangandaran (Kabupaten Ciamis), seperti ditemukan oleh tim LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Tsunami besar yang menghasilkan endapan di Cikembulan dipastikan lebih besar ketimbang Tsunami 2006. Kandidat endapan tsunami purba juga telah ditemukan pada tiga pantai di Kabupaten Gunungkidul dan Pacitan oleh tim gabungan Maipark Indonesia dan ITB. Ketiga lokasi endapan tsunami purba tersebut adalah di pantai Sepanjang (kedalaman 1,8 meter), pantai Baron (kedalaman 1,7 meter) dan pantai Teleng (kedalaman 0,6 meter). Kandidat endapat tsunami purba juga telah diidentifikasi tim BMKG di pesisir Teluk Penyu. Di pantai Logending, endapan tersebut terletak pada jarak sekitar 1 kilometer dari garis pantai.
Dengan penelitian yang sedang berjalan, tentu masih jauh dari pengambilan kesimpulan tentang segmentasi zona subduksi Jawa dan karakteristiknya. Tetapi pada saat ini, secara kasar, dapatlah dikatakan bahwa zona subduksi Jawa khususnya di busur luar terbagi ke dalam sedikitnya empat segmen berbeda. Segmen pertama terletak di selatan Jawa Barat, membentang dari tepian Selat Sunda hingga ke segmen kedua. Segmen pertama ini dapat disebut sebagai segmen Sunda, karena berhadapan dengan selat Sunda. Sementara segmen kedua, sebutlah segmen Pangandaran, adalah segmen sepanjang sekitar 200 kilometer yang menjadi lokasi sumber Gempa Pangandaran 17 Juli 2006. Segmen ketiga terletak di selatan Jawa Tengah dan DIY serta (sebagian) Jawa Timur. Segmen ketiga ini dapatlah disebut segmen Jawa Tengah. Dan yang keempat adalah segmen sepanjang sekitar 200 kilometer yang menjadi sumber Gempa Banyuwangi 3 Juni 1994. Segmen ini juga bisa dinamakan segmen Banyuwangi.
Di antara keempat segmen tersebut, segmen Pangandaran dan segmen Banyuwangi telah melepaskan energinya dalam gempa tektonik besar yang juga memproduksi tsunami signifikan dan mematikan. Sementara segmen Sunda dan Jawa Tengah belum. Kedua segmen tersebut memiliki perbedaan yang sangat jelas dibanding segmen Pangandaran dan Banyuwangi dalam peta seismisitas regional. Karena jarang terjadi gempa tektonik di segmen Sunda maupun Jawa Tengah, khususnya sejak pencatatan gempa modern dimulai pada 1960-an TU, apabila dibandingkan dengan kawasan sekitarnya. Area di zona subduksi yang jarang mengalami gempa tektonik dikenal sebagai kawasan kesenjangan seismik atau seismic gap. Kawasan semacam ini dicurigai sedang menimbun energi, yang kelak bakal dilepaskan dalam gempa kuat ataupun malah gempa besar.
[Estimasi tiga kawasan kesenjangan seismik (seismic gap) di zona subduksi Jawa, semata berdasar pada rendahnya frekuensi kegempaan di tiga lokasi tersebut. Tiga seismic gap ini memiliki potensi untuk menjadi sumber gempa besar (atau bahkan malah gempa akbar) dan tsunami merusak bagi pesisir selatan pulau Jawa di masa yang akan datang. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis data IRIS, 2015 dan Natawidjaja, 2007].
Seismic gap pada segmen Sunda memiliki panjang sekitar 260 kilometer. Bila lebarnya dianggap 100 kilometer, maka magnitudo maksimum gempa tektonik yang bisa dilepaskannya mencapai 8,4. Sementara seismic gap di segmen Jawa Tengah panjangnya pun hampir sama, yakni sekitar 250 kilometer. Dengan lebar seismic gap ini juga dianggap 100 kilometer, maka magnitudo maksimum gempanya juga berkisar pada angka 8,4. Selain kedua segmen tersebut, ada pula kawasan menyerupai seismic gap namun berposisi lebih dekat ke daratan, yakni di cekungan busur muka. Kawasan tersebut berlokasi di lepas pantai Kabupaten Cilacap, Kebumen, Purworejo dan Kulonprogo. Karena juga berada di selatan Jawa Tengah, maka kawasan seismic gap ini dapatlah disebut sebagai segmen Jawa Tengah 2. Luas seismic gap pada segmen Jawa Tengah 2 lebih kecil, dengan panjang sekitar 150 kilometer dan lebar sekitar 100 kilometer. Dengan dimensi tersebut magnitudo maksimum untuk gempa tektonik yang bisa dilepaskan dari segmen Jawa Tengah 2 bisa mencapai 8,2. Dari angka-angka prakiraan ini dapat dimengerti mengapa ilmuwan kegempaan menempatkan gempa hipotetik dengan magnitudo maksimum 8,5 sebagai basis penyusunan peta bahaya tsunami dan peta evakuasi tsunami di pesisir selatan pulau Jawa.
Dengan ketiga seismic gap tersebut, maka pulau Jawa khususnya bagian selatan lebih rentan akan guncangan oleh gempa tektonik kuat atau malah gempa besar. Pesisir selatan pulau Jawa juga tetap berpotensi dilimbur tsunami. Bila segmen Sunda melepaskan energinya, tsunami merusak yang dibentuknya berpotensi menghantam pesisir selatan Jawa Barat, mulai dari Ujungkulon hingga Garut. Sebaliknya bila segmen Jawa Tengah yang melepaskan energinya, tsunami merusak berpotensi menghajar garis pantai selatan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta serta sebagian Jawa Timur. Yakni mulai dari Cilacap hingga Blitar. Pesisir selatan Jawa Tengah dan DIY khususnya di antara Cilacap hingga Bantul juga berpotensi terkena hantaman tsunami merusak bilamana segmen Jawa Tengah 2 melepaskan energinya.
Meski karakteristik lebih lengkap dari zona subduksi Jawa belum sepenuhnya dipahami, namun kemungkinan eksistensi tiga seismic gap tersebut telah memberikan gambaran risiko pesisir selatan pulau Jawa terhadap ancaman bencana alam gempa bumi tektonik (khususnya gempa kuat atau bahkan gempa besar) dan bencana tsunami. Dengan risiko tersebut, langkah-langkah mitigasi pun mulai disusun. Khususnya dalam hal mitigasi bencana tsunami, yang memang lebih terprediksi, dalam aras mitigasi non fisik. Kabupaten dan kota yang berbatasan langsung dengan garis pantai selatan pulau Jawa telah mulai menyusun peta bahaya tsunami dan peta evakuasi tsunaminya masing-masing.
Secara akumulatif BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat terdapat 23 kabupaten/kota yang berisiko terkena bencana tsunami di pulau Jawa. Secara akumulatif terdapat hampir 1,7 juta jiwa yang tinggal di pesisir kabupaten/kota yang berisiko tersebut. Berdasarkan jumlah jiwa yang berpotensi terpapar tsunami, Kota Cilacap (propinsi Jawa Tengah) adalah kawasan paling berisiko tsunami di pulau Jawa. Disusul dengan Kabupaten kebumen (juga di propinsi Jawa Tengah) pada peringkat kedua.
Di tulis ulang oleh
Mbah Brohem.
Praktisi kebencanaan sekaligus
Anggauta IABI ( Ikatan Ahli Bencana Indonesia ) unsur Praktisi.
*Bahan/Sumber referensi::
√. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; 2006; Rehabilitasi Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Selatan Pulau Jawa ; 25 Juli 2006
√. Anugrah dkk; 2015; A Preliminary Study of Paleotsunami Deposit Along the South Coast of East Java: Pacitan-Banyuwangi; AIP Conf. Proc. 1658, 050003 (2015). Bandung, Indonesia, 11–12 November 2014.
√. Adriansyah dkk; 2011; Pre-eliminary Results of Paleotsunami Investigation on Gunungkidul and Pacitan; Joint Convention IAGI-HAGI 2011, Makassar, Indonesia, 26-29 September 2011.
√. Kanamori; 2006; Seismological Aspects of the December 2004 Great Sumatta-Andaman Earthquake; Earthquake Spectra, 22 (S3). S1-S12. ISSN 8755-2930.
√. BNPB; 2012; Masterplan Pengurangan Risiko Bencana Tsunami; Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Juni 2012.
√. Natawidjaja; 2007; Tectonic Setting Indonesia dan Pemodelan Gempa dan Tsunami; Pelatihan Pemodelan Tsunami Run-up, Kementerian Negara Riset dan Teknologi RI, 20 Agustus 2007.
√. Lavigne dkk; 2007; Field Observations of the 17 July 2006 Tsunami in Java; Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 7 (2007), 177–183.
√. Synolakis dkk; 1995; Damage, Conditions of East Java 1994 of Tsunami Analyzed. Eos. Trans. AGU, vol. 76 no. 26 (June 1995), 257 & 261-261.
√. Yulianto dkk; 2010; Where the First Wave Arrives in Minutes, Indonesian Lessons on Surviving Tsunamis Near Their Sources; Intergovernmental Oceanographic Commission, United Nations Educational Scientific and Cultural Organisation, IOC-Brochure 2010-4.
================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar