Disaster

Minggu, 08 September 2024

Al-qur'an di turunkan untuk seluruh lapisan umat manusia


Al-Quran adalah untuk segala manusia. Jika muslimin mengklaim bahwa Al-Quran itu hanya milik muslimin, maka itu artinya mempersempit dan menyalahi statemen Al-Quran itu sendiri, "Hudan lin_Naas". Dalam perspektif ini, tiap individu bebas memahami, menafsir, teks Al-Quran, tanpa mengaitkan dia beragama apa, bersuku bangsa apa. Yang menjadi penting, jangan memaksa tafsir dirinya untuk diterima orang lain. Dan, jangan memandang tafsir dirinya yg paling benar.

Perkaranya, Al-Quran yg sampai kepada manusia berwujud teks berbahasa Arab, lalu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Salah satunya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Syekh Dr Ali Jum'ah (Mufti Mesir),  memberi penjelasan, bahasa adalah organisme hidup yang tumbuh dan berkembang serta bercabang. Bahasa Arab, yg digunakan sbg bahasa Al-Quran, memiliki ciri khas yang dikandungnya.

Di antaranya, ciri pertama, sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Jinni, yakni aspek kelengkapannya. Ciri khusus berikutnya dari bahasa Arab ialah otentik, memiliki ragam metafora, dan ragam bentuk penyampaian.

Selain itu, Syekh Ali Jum'ah menjelaskan, bahasa Arab juga memiliki banyak sinonim. Dalam kasus bahasa Arab, contohnya adalah "khamr," yang memiliki lbh kurang 90 sinonim. Ciri khas lainnya, yaitu bahasa Arab memiliki sifat gabungan. Artinya, satu kata dalam bahasa Arab bisa memiliki banyak makna. Misalnya 'aynun', yang memiliki banyak arti, di antaranya mata, mata-mata, jiwa, dan lainnya.

Dengan begitu sifat Bahasa Arab, maka tiap ianya diterjemahkan ke lain bahasa, maka pasti ada "distorsi" makna yg dikandungnya. Oleh karena itu pembaca terjemahan bisa terjebak pada makna konteks budaya bhs terjemahannya, tanpa melihat konteks, ciri teks, dan lokus serta kala saat teks itu berwujud.

Nah inilah, akar dari masalah kegaduhan tentang hapus menghapus ayat. Yang ini kulo sebut seperti tertera pada judul tulisan ini. 

Masih beruntung Al-Quran, karena diterjemahkan ke dalam bahasa2 apa pun di dunia masih disertakan teks berbahasa Arabnya, sehingga bila terjadi perselisihan nuansa makna terjemahan bisa dirunut kembali pada teks aslinya, lalu dikaji bersama sesuai ilmu linguistik dan sastra Arab, serta konteks, lokus, dan kala saat teks itu berwujud.

Nah, apakah kitab suci selain Al-Quran yg sampai kepada kita sekarang ini mudah dirunut teks berbahasa aslinya saat teks kitab suci ybs pertama kali berwujud? 

Jika kita membandingkannya antara terjemahan suatu kitab suci dengan terjemahan kitab suci lainnya, sesungguhnya yg demikian ini adalah perbandingan terjemahan. Dan namanya terjemahan itu ya sdh masuk pendapat penerjemah/tim penerjemah.

Semoga sesama pembaca terjemahan tidak saling pethenthengan. 
Mugo2

πŸ™πŸΎπŸ™πŸΎπŸ™πŸΎπŸ™πŸΎπŸ™πŸΎ

Oleh Gus Broo..heemm

PENDEKAR WANITA KETURUNAN TIONGHOA YANG MENYAMAR JADI PRAJURIT LAKI-LAKI DI KEBUMEN

PENDEKAR WANITA KETURUNAN TIONGHOA YANG MENYAMAR JADI PRAJURIT LAKI-LAKI DI KEBUMEN

Di daerah Kebumen, Jawa Tengah, ada sebuah makam tua yang berada di tengah sawah. Uniknya, di sana ada sebuah gapura bergaya arsitektur Tionghoa.

Dari keterangan sebuah nisan, makam tua itu adalah milik R.A K.R.A.T Kalapaking III, atau bisa disebut Raden Ayu Tan Peng Nio.

Raden Ayu Tan Peng Nio merupakan seorang pejuang Indonesia keturunan Tionghoa. Ia ikut berperang dalam perang Geger Pecinan melawan tentara Belanda.

Tan Peng Nio merupakan anak dari Jenderal Tan Wan Swee. Sebelumnya, Tan Wan Swee berselisih pendapat dan melakukan pemberontakan yang gagal terhadap Kaisar Qian Long (1711-1799) dari Dinasti Qing. Ia kemudian menitipkan Tan Peng Nio kepada sahabatnya, Lia Beeng Goe, seorang ahli pembuat peti mati dan ahli bela diri. Setelah pemberontakan itu gagal, Tan Peng Nio menjalani pelarian bersama Lia Beeng Goe ke Singapura, lalu berpindah ke Sunda Kelapa (sekarang Jakarta).

Pada tahun 1741, terjadi sebuah huru-hara yang terkenal dengan nama Geger Pecinan. Saat itu, terjadi pembantaian terhadap etnis Tionghoa oleh tentara VOC. Saat pembantaian itu terjadi, Lia Beeng Goe dan Tan Peng Nio mengungsi ke arah timur hingga tiba di Kutowinangun, Kebumen. Di sana mereka bertemu Kiai Honggoyudho yang mahir membuat senjata.

Ketika terjadi peperangan dan penyerbuan selama 16 tahun (1741-1757) atau Perang Kuning oleh Pangeran Garendri, Tan Peng Nio dikabarkan ikut bergabung ke dalam 200 tentara bentukan KRAT Kolopaking II yang dikirim untuk ikut membantu pasukan Garendri. Saat itu, Tan Peng Nio dikabarkan menyamar menjadi prajurit laki-laki.

Peperangan itu kemudian berakhir dengan terjadinya Perjanjian Giyanti. Setelah perang berakhir, ia menikah dengan KRT Kolopaking III dan menetap di Kutowinangun, Kebumen. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai dua orang anak yaitu KRT Endang Kertawangsa dan RA Mulat Ningrum.

Tan Peng Nio menetap di Kebumen hingga akhir hayatnya. Saat meninggal, ia dikebumikan di Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian, Kebumen. Makamnya dibangun dengna gaya Tionghoa. Hingga kini makamnya cukup sering didatangi peziarah.
#santrikebumen