*BENCANA ALAM DALAM FILOSOFI PERSPEKTIF HUKUM Rta dan HUKUM Rna dalam kehifupan masyarakat Hindu
Hukum Alam dan Hukum Wajib sesuai masyarakat hindu
menyebutkan bahwa jagad raya atau alam semesta dikendalikan oleh *hukum lahir (Utpeti),* *hidup (Stiti)* dan *mati (Pralina),*
dan tak ada seorangpun yang dapat menghindari hukum tersebut. Ini sesuai dengan aksara suci OM yang merupakan penyatuan dari aksara *AUM yaitu Ang (Jawa: Ana),*
*Ung (Urip),* dan *Mang (Mati)* sebagai simbol dari hukum tersebut. Maka OM mencerminkan tidak saja kesucian tetapi juga keabadian kukum jagad raya atau alam semesta.
Apa artinya?
Artinya lahir, hidup, dan mati adalah sebuah keniscayaan. Lahir bisa dengan berbagai cara, ada yang dengan stek, cangkok, membelah diri, bertelur, lahir normal, sesar, lahir di jalan, di rumah sakit, dll. Hidup juga bermacam-macam. Ada yang miskin, kaya, jadi guru, petani, pengusaha, bahagia, menderita. Mati pun caranya bermacam-macam. Ada yang sakit berbulan-bulan, ada yang sebentar, ada yang tidak sakit tau-tau meninggal. Ada yang kecelakaan, ada juga karena bencana alam.
Keseluruhan alam semesta ini terdiri dari dua realitas: Purusha dan Prakriti.
*Prakriti adalah divine energy (energi ilahi).*
Prakriti adalah penyebab awal dari seluruh fenomena alam materi, seluruh dimensi alam semesta - dan segalanya, tentu saja kecuali Purusha yang tidak memiliki penyebab maupun menjadi sebab. Prakriti menjadi sumber asal dari apapun yang bersifat material dan energi.
*Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari* *(Rg Veda 2.72.4)*
Artinya:
Dari aditi (materi) daksa (energi) berasal dan dari daksa aditi berasal.
Dalam hukum modern, ini dikenal dengan hukum kekekalan energi.
Seringkali kita menghubungkan bencana alam dengan tingkah manusia yang semakin jauh dari ajaran dharma. Apa betul demikian?
Bisa benar bisa salah.
1. Tergantung bencananya. Ada bencana yang terjadi akibat ulah manusia. Banjir dan tanah longsor misalnya, bisa jadi karena ulah manusia dan bisa juga bukan. Tergantung konteksnya. Apalagi gempa bumi dan gunung meletus. Sangat kecil bahkan boleh dikatakan tidak ada peran manusia sebagai penyebab kejadian bencananya.
2. Tergantung bagaimana manusia menyikapinya. Apakah kita siap dengan bencana yang terjadi? Apakah kita telah mempelajari, memperkirakan potensinya, memahami tanda-tandanya, bersiaga melakukan evakuasi ketika tanda-tanda itu datang, sampai pada sikap penerimaan akan Hukum Tuhan itu?
*Hukum alam Rta yang lebih mudah kita pahami sebagai Dharma*
menjadi landasan Srada ketiga yaitu
*Hukum Karma Pahala,*
Karma adalah Perbuatan dan Pahala adalah Hasilnya. Hukum ini bekerja dengan sedemikian adilnya tanpa ada cacat cela. Kalaupun kita tidak mau peduli dengan bencana termasuk gempa bumi dan gunung meletus maka hukum karmapala juga bekerja. Karena hukum ini tidak pernah absen dalam segala aspek kehidupan.
Apa yang kita perbuat itulah yang akan kita terima.
*Ajaran Tri Rna* mengatakan bahwa kita harus membayar hutang (saya lebih suka menyebut sebagai kewajiban) atas apa yang telah Tuhan berikan, para guru berikan, dan orang tua atau leluhur berikan. Tuhan memberikan kita akal budi, kecerdasan. Para guru memberi kita pelajaran pengetahuan. Orang tua memberi kita cintakasih maupun bimbingan sikap hidup dan kebiasaan baik. Semua itu harus kita balas dengan memanfaatkan akal budi dan kecerdasan kita untuk menyerap ilmu pengetahuan tentang alam. Tentang hukum-hukum alam.
*Pemahaman terhadap Rta (Hukum Semesta)* dan *Rna (Kewajiban)* akan membuat kita selalu berusaha belajar dan bekerja keras menjaga harmoni jagad raya. Ini adalah sebuah kesadaran modern nan canggih.
Bahwa agama bukan hanya aturan tentang bagaimana manusia menyembah Tuhannya. Tapi juga bagaimana manusia berhubungan dengan manusia lain. Bukan hanya hubungan sosial tapi juga hubungan pengetahuan, saling belajar. Juga hubungan ekonomi, saling berupaya membangun kesejahteraan.
Bahkan agama juga memberikan pedoman untuk manusia berhubungan dengan alam. Bagaimana memahami sifat-sifat alam, seberapa besar porsi yang bisa kita ambil dan harus seberapa besar kita memberi. Bukan hanya searah tapi harus timbal balik.
Konsep ini kita kenal dengan Tri Hita Karana , tiga hekarmonisan hidup yang mebuat hidup kita bahagia – membangun hubungan yang harmonis pada Tuhan, pada sesama manusia, dan pada alam. Pemahaman yang baik akan hukum alam membuat kita akan semakin meyakini konsep Tri Hita Karana. Kita meyakini hubungan yang baik dan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia degan alam akan membuat hidup kita bahagia.
Sekarang kita masuk lebih jauh ke bencana. Bencana itu ada 2, yaitu bencana alam dan non alam. Bencana non alam jelas terjadi karena sepenuhnya ulah manusia. Ada bencana sosial, bencana politik, bencana ekonomi, dll. Yang ini tidak perlu kita bahas lebih jauh. Kita akan lebih fokus pada bencana alam, yang sering terjadi dan menjadi perdebatan: ini salah siapa dan bagaimana kita seharusnya bersikap.
Bencana Karena Ulah Manusia?
Bencana alam sering dikaitkan dengan perilaku manusia yang semakin menjauh dari ajaran Tuhan. Benarkah demikian?
Pertanyaannya, ajaran Tuhan yang mana?
Kejadian gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami sering dikaitkan dengan teguran atas tingkah laku manusia yang mulai melupakan ritual agama, kemaksiatan, dll. Lalu, apakah meletusnya gunung Agung tahun 1954 juga karena manusia di Bali sudah mulai meninggalkan ajaran leluhurnya? Lebih jauh lagi, apakah meletusnya gunung Toba puluhan ribu tahun lalu yang mengakibatkan terbentuknya danau Toba juga karena manusia yang meninggalkan ajaran agama?
Bencana alam dibagi menjadi 2: bencana geologi dan bencana hidrometeorologi.
*BENXANA GEOLOGY*
Gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami (bencana geologi) adalah konskuensi logis dan keniscayaan hukum Rta. Jagad raya diciptakan sedemikian sempurnanya sehingga ada tata surya yang nyaman menjadi tempat hidup manusia. Ada bumi yang kita tempati, ada matahari yang membuat bumi nyaman untuk kehidupan karena energi matahari membuat bumi memiliki segala persyaratan kehidupan seperti air, udara, dan segala zat yang terkandung baik di atmosfir, di permukaan bumi, hingga di perut bumi. Energi matahari yang diterima bumi mampu menggerakkan siklus hujan, dan menciptakan segala kebutuhan energi fosil (minyak dan batubara) juga energi panas bumi. Bumi kita terus berputar tanpa pernah berhenti sebagaimana Sang Hyang Widi juga tanpa pernah berhenti bersamadi. Inilah kehidupan.
Energi yang diterima bumi pada saatnya harus dikeluarkan untuk menjaga keseimbangan semesta. Maka gunung meletus dan gempa bumi adalah pertanda bahwa bumi kita tetap hidup. Tentu ini berbeda dengan planet lain yang tidak pernah mengalami letusan gunung dan gampa bumi karena memang tidak ada kehidupan.
Maka jika bencana gempa bumi dan gunung meletus dikaitkan dengan ulah manusia yang meninggalkan ajaran agama bukanlah hal yang tepat. Namun demikian sebagaimana ajaran Rta dan Rna maka bencana gunung meletus dan gempa bumi bisa saja dikaitkan dengan kurangnya kita menjalani kewajiban. Kita yang telah dibekali akal budi dan pengetahuan masih kurang memanfaatkan apa yang telah Tuhan, guru, dan orang tua berikan (Tri Rna) untuk belajar memahami tanda-tanda alam. Kurang menjaga harmoni Tri Hita Karana. Sudahkah para cerdik pandai membangun sistem peringatan dini bencana dengan baik? Sudahkan pemerintah menetapkan prosedur standar menghadapi bencana? Sudahkah masyarakat mematuhi peringatan dini yang ada? Atau justru merusak buoy tsunami? Sudahkan membangun gedung sesuai standar tahan gempa? Dll.
Jika dikaitkan dengan ini maka kerugian akibat bencana yang terjadi memang akibat ulah manusia yang tidak menjalani ajaran agama dengan baik. Dalam arti tidak mengimplementasikan ajaran agama dalam kehidupan yang semakin modern. Karena tujuan agama kita bukan hanya moksa melainkan moksartam jagadhita ya caiti dharma. Bukan hanya memikirkan bekal setelah mati melainkan juga harus mensejahterakan kehidupan di dunia.
Lalu bagaimana dengan bencana alam lain seperti banjir, longsor, kekeringan dll (yang disebut dengan bencana hidrometeorologi)? Untuk jenis bencana ini memang ulah manusia sangat besar pengaruhnya. Namun juga bukan sepenuhnya kesalahan manusia. Karena siklus alam juga selalu berusaha menjaga keseimbangannya dengan adanya hujan deras, angin kencang, dll. Hanya memang ulah manusia yang terlalu mengekploitasi alam seringkali membuat bencana hidrometeorologi terjadi semakin sering dan magnitudonya semakin kuat. Ini juga wujud sikap manusia yang tidak mengindahkan ajaran agama dalam konsep Rta, Rna, Karmaphala, dan Tri Hita Karana.
Tidak ada kesejahteraan yang bisa diraih bila hubungan satu dengan lainnya tak seimbang, patron – client, yang satu mengeksploitasi yang lain.
*Rg Veda I.1.9 yang menyatakan:*
*Sa nah piteva sunave
‘gne supayano bhava,
Sucasvanah svastaye*
Artinya:
Izinkan kami mendekatimu (bumi) dengan mudah, seperti ayah kepada anaknya; Semoga engkau senantiasa bersama kami.
Peran Ritual Keagamaan
Jika dalam ulasan di atas disebutkan bahwa bencana alam adalah siklus alam dan sebagian juga peran manusia dalam menjaga lingkungannya, lalu apa peran ritual keagamaan dalam kaitannya dengan bencana alam?
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap agama memiliki ritualnya masing-masing, meskipun bisa kita katakan bahwa Hindu merupakan agama dengan ritual yang mungkin paling banyak. Mengapa harus ada ritual? Tidak cukupkah hanya dengan doa atau japa atau mantra? Bukahkah Bhagawad Gita juga mengatakan demikian?
*Maha rsinam bhrgur aham Giram asmy ekam aksara Yadnyanam japa yadnyo aham Stha-varanam aham himalaya. (Bhagawad GitaX.25).*
Artinya:
Di antara Rsi Aku adalah Maha Rsi Bhrgu. Di antara aksara suci Aku adalah Omkara. Di antara Yandya Aku adalah Japa Yadnya. Di antara benda tak bergerak Aku adalah Himalaya.
Ritual adalah yadnya yang berisikan kalimat-kalimat mantra/japa berbalut tradisi dan budaya. Manusia seringkali memerlukan ritual untuk lebih bisa menguatkan niat dan memfokuskan pikiran dalam melantukan japa.
Tentu saja ritual tiap agama berbeda-beda tergantung dimana asal agama itu berkembang. Bahkan ritual agama Hindu juga bergantung pada budaya setempat. Lebih jauh lagi, ritual Hindu umumnya menggunakan sesaji yang melambangkan makna japa atau mantra yang dimaksudkan. Ibarat mengungkapkan cinta akan lebih afdol jika dilakukan dalam suasana romantis dengan perantara kuntum bunga. Sesaji yang menghiasi ritual Hindu seringkali diperepsikan tidak baik oleh peganut agama lain, bahkan dianggap sesat. Apalagi persembahan sesaji seringkali dihaturkan di gunung, laut, hutan angker, dll.
Dalam Hindu, alam adalah Tuhan dalam berbagai fungsinya. Dalam bentuk hujan Dia disebut Indra, dalam bentuk angin Dia disebut Bayu, dalam bentuk api Dia disebut Agni, dalam bentuk laut Dia disebut Baruna. “Ya Tuhan, engkau adalah Brahma, Wisnu, Siwa, Rudra…” demikian doa sehari-hari umat Hindu. Weda memang menyatakan demikian. Maka lahirlah yadnya (persembahan suci) kepada api, kepada laut, kepada gunung. Itulah bentuk harmoni, saling menghormati, saling menjaga.
*Istan bhogan hi vo deva
Dasyante yajna bhavitah
Tair dattan appradayaibhyo
Yo bhunkte stena eva sah (Bhagawad Gita III.12)*
Artinya:
Dengan pemujaanmu kepada dewata, maka Dewata akan memberkahimu dengan kebahagiaan. Dia yang menikmati berkah tanpa melakukan yadnya, adalah ibaratnya seperti pencuri.
Jadi, apakah persembahan-persembahan itu sesat?
Kembali lagi, tergantung kesadaran kita. Kesadaran anak-anak akan melahirkan gambaran Tuhan yang kekanak-kanakan, kesadaran yang matang dan dewasa akan melahirkan gambaran Tuhan yang dewasa: maha bijaksana, maha adil, maha baik, maha pengertian. Terlalu besar DIA untuk dipahami, dimiliki dan diklaim seorang diri.
Ritual Hindu dengan segala uba rampe atau perlengkapanya berupa sesaji justru menjadi penguat niat dari japa mantra atau doa. Kekuatan ritual justru meneguhkan betapa seriusnya kita ingin selalu menjaga harmoni hubungan manusia dengan alam dan dengan Tuhan.
GUS BROHEM
Relawan kebencanaan Indonesia