Sebagai anak manusia pasti selalu punya OBSESI, LUGAS, namun tetap mempunyai kekurangan - kekurangan, sebagai bagian dari kehidupan berbangsa, selalu menjaga nilai nilai perjuangan pahlawan kemerdeakaan bertanggungjawab dan kesatuan NKRI harga mati. sebagai bagian umat beragama, selalu berusaha meningkatkan keimanan, menjaga norma norma dan tuntunan agama yg aku yakini.
Disaster
Jumat, 18 November 2022
Merajut Kembali Embrio Silaturahmi Melalui réunian tersaji Dalam Media Secangkir Kopi
Rabu, 13 April 2022
LELAKI LANGIT
Satu cerita nyata dalam kehidupan yang di tuang dalam tulisan oleh sosok wanita yg berprofesi sbg seorang psikolog, juga sbg sosok ibu sekaligus sosok istri yg sholehah (satu perkampungan pesantren di Jepara jawa tengah
*LELAKI LANGIT*
Tiba-tiba aku terbangun.
Ketika jarum jam menunjuk angka 2.34 pagi.
Setengah mengantuk aku bergegas ke kamar kecil.
Enam detik kemudian aku terpaku heran. Sudah ada ibu berdiri di depanku.
Kenapa ibu ada di sini?
Bukankah almarhumah sudah lama meninggalkan kami.
Rasa kantung kemih penuh mendadak hilang ditelan bumi.
Seorang lelaki yang tak kukenal berdiri di samping ibu. Badannya kurus, wajahnya tirus.
_“Mas Bagus, ibu njaluk tulung yo._
_(Ibu minta tolong). Kalau umroh titip dia ini"_, ujar ibu dengan logat Jawanya yang kental sambil menunjuk lelaki di sampingnya.
_“Nggih Bu. Tapi nyuwun sewu, niku sinten tho?”_ (iya bu, tapi maaf itu siapa), tanyaku heran.
Ibu tidak menjawab.
Lelaki itu kupandangi kemudian.
IMRUL
Aku melihat itu di atas saku kemejanya.
Di bawahnya ada sederetan angka.
Jelas sekali semuanya terbaca.
Tiba-tiba aku terbangun dan mengerjapkan mata.
_“Mas Bagus mimpi lagi ya?”_ ujar istriku lembut sambil membelai kepalaku.
Jantungku berdegup keras.
_“Ini sudah 3 kali mimpi yang sama,”_ ujarku sambil bergegas pergi ke kamar kecil.
Jarum jam 4.34 pagi.
Adzan Subuh berkumandang.
*******
Sopirku pak Sanusi, menghela nafas berat di belakang kemudi.
Jakarta padat merayap malam hari ini.
Duduk di kursi belakang, aku sibuk dengan MacBook Pro menyelesaikan laporan audit tahunan yang hampir jatuh tempo.
Saat Pak Sanusi meliukkan Toyota Camry-ku, aku jadi teringat pada mimpi semalam.
Almarhumah ibu dan Ielaki yang tak pernah aku jumpa.
Kemeja bertuliskan Imrul dan sederetan angka.
Mungkinkah deretan angka itu nomor handphone?
Apakah lelaki itu namanya Imrul?
Suara nada tunggu digantikan ucapan salam terdengar dari seberang sana, saat aku coba hubungi nomor tersebut.
Suara perempuan.
_“Apa saya bisa berbicara dengan Pak Imrul?”_, tanyaku sedikit ragu.
Hening tak ada jawaban sampai beberapa menit kemudian.
_“Assalamu’alaikum, Iya ini dengan Imrul,”_ suara lelaki sopan.
Degg..!!
Ini pasti cuma kebetulan, dan jantungku berdegup keras.
Tak ingin berlama-lama di telepon, malam itu juga aku menyambangi rumah Imrul, lelaki kurus berwajah tirus tersebut.
Usianya sekitaran 30, plus-minus.
Kami lesehan di atas lantai semen yang sebagiannya retak, di ruang tamu sebuah rumah petak.
_“Panggil mas Imrul saja,”_
ujarnya sopan.
Aku tersenyum bercampur heran. Dari wajahnya, memang dialah lelaki yang ada dalam mimpiku itu.
_“Kalau boleh tahu, Bapak dapat nomor telepon ini dari mana?”_
Dan berceritalah aku tentang mimpi aneh yang berulang 3 kali itu.
Mas Imrul diam. Wajahnya makin tirus mirip kucing restoran berharap makanan.
_“Apa sampeyan pernah bertemu almarhumah ibu saya?”_
tanyaku sambil menyodorkan foto almarhumah di Hp-ku.
Tak perlu waktu lama buatnya untuk berkata, _"tidak"_.
Aku menggaruk kepala.
_“Mas, kalau bukan karena almarhumah ibu, saya tidak akan pedulikan mimpi itu”_,
ujarku pelan sambil memegang pundaknya.
_“Saya ingin mengajak mas Imrul pergi umroh.”_
_“Tapi saya ini mantan napi Pak. Belum sebulan bebas,”_
ujar Mas Imrul ragu.
Sepertinya dia tidak percaya dengan ucapanku / ajakanku umroh.
Bulu tengkuk di leherku berdesir aneh.
*******
_“Sampeyan dulu kenapa masuk penjara?”_ tanyaku, duduk di samping Mas Imrul yang sedang terpesona.
Seumur hidupnya dia baru pertama kali naik pesawat sebesar ini.
Perjalanan 9 jam Jakarta - Jeddah, mubazir rasanya kalau tidak mencari tahu tentang dia.
Lelaki biasa, mantan narapidana ini.
_“Sebelum masuk bui, kerja saya sebagai satpam. Belum setahun, kantor yang saya jaga kerampokan. Teman sesama satpam, ternyata berkomplot._
_Dua hari sesudah kejadian, semua pelakunya diringkus polisi._
_Di pengadilan, teman itu berbohong kalau saya ikut terlibat. Padahal, waktu kejadian malam itu saya diikat di toilet._
_Hakim lebih percaya dia, akhirnya saya dipenjara. Vonisnya dua tahun,”_ ujar Mas Imrul.
Aku menghela nafas...
_“Sebenarnya, yang bikin saya sedih bukan itu Pak,”_
sambung mas Imrul.
Air matanya sedikit meleleh.
_“Lalu apa mas?”_ tanyaku penasaran.
_“Saya gundah dan khawatir. Kalau saya dipenjara, siapa nanti yang akan merawat ibu._
_Saya anak satu-satunya._
_Apalagi ibu sudah lama lumpuh dan tidak bisa melihat._
_Setiap hari saya menyuapi dan memandikannya._
_Biar gaji kecil, setiap bulan saya selalu cukupkan membeli susu Ibu. Biar ibu tetap sehat.”_
Kali ini bulir air matanya mulai berjatuhan.
Duh Gusti Allah, ternyata aku jauh dibanding mas Imrul.
Waktu almarhumah ibu dirawat di rumah sakit menjelang wafatnya, aku malah sibuk persiapan rapat pemegang saham perusahaan.
Astaghfirullah...
_“Terus siapa yg mengurus ibunya mas Imrul?”_ tanyaku sembari mengelap mata.
Tak terasa aku ikutan menangis juga.
_“Saya minta tolong mbak Yuni, saudara jauh dari kampung. Itu lho, perempuan yang menerima telepon Pak Bagus tempo hari._
_Kebetulan saya masih ada sedikit tabungan, jadi semua uangnya dipakai buat mengurus ibu selama saya dipenjara._
_Dia yang mengurus ibu semenjak itu._
_Saya minta dia datang tiap hari ke penjara, menceritakan kondisi ibu._
_Kalau mbak Yuni datang dan cerita tentang Ibu, hati saya lega rasanya._
_Hati selalu was-was kalau mbak Yuni datangnya telat, khawatir ada apa-apa pada Ibu.”_
Aku cuma menunduk.
Malu pada lelaki di sampingku ini.
Jabatanku mentereng, gaji ratusan juta, tetapi tak bisa dibandingkan dengan ketulusan mas Imrul dalam merawat ibunya.
_"Gusti Allah, apa yang Engkau mau dari pertemuan aku dengan lelaki sholeh ini?_
_Biar aku sadar kesalahanku?_
_Bukankah percuma karena almarhumah sudah tiada?"_
Desahku dalam hati...
_“Baru 6 bulan dipenjara, mbak Yuni kapan itu gak datang dua hari Pak”_, mas Imrul melanjutkan ceritanya.
_“Saya was-was. Ternyata Ibu saya meninggal dunia Pak._
_Sedihnya lagi, Pak sipir penjara nggak ngebolehin saya keluar sebentar buat ziarah ke makam ibu._
_Saya cuma bisa nangis di penjara Pak. Mohon ampun sama Allah.”_
Air mataku menderas.
Duh Gusti Allah, cobaan hidup lelaki ini ternyata berat.
Aku belum tentu kuat menjalaninya.
_“Mas Imrul kan vonisnya 2 tahun. Kenapa bisa bebas lebih cepat?”_ tanyaku sambil menyeka air mata.
_“Oh, kalau itu karena kasus saya diperiksa kembali sama polisi dan pengadilan Pak,”_ ujarnya sambil ragu mengambil kain hangat yang disodorkan awak kabin.
_“Setelah sidangnya diulang, terbukti saya memang tidak bersalah._
_Teman yang berkomplot itu akhirnya berterus terang,”_ ujar mas Imrul pelan.
_“Sebetulnya saya sudah memaafkan teman itu. Sejak pertama kali difitnah.”_
_“Sejak pertama kali sudah memaafkan?”_ tanyaku tambah heran.
_“Iya pak Bagus. Kalau ada orang memfitnah, buat saya cuma dua. Kalau fitnah itu benar, maka saya mohon ampun sama Allah. Tapi kalau fitnah itu salah, maka saya maafkan dan mohon ampunkan dia dari kemurkaan Allah,”_ ujarnya datar.
Degg..!!
Aku langsung teringat fitnah yang menimpaku setahun yang lalu.
Aku dituduh memanipulasi laporan pajak perusahaan.
Si penuduh berhasil aku sikat habis di pengadilan.
Aku beruntung dapat pengacara yang handal.
Tapi sekarang aku menyesal.
Mengapa sepertinya kata maaf tidak pernah ada dalam kamus hidupku selama ini.
Ternyata lelaki ini bukan orang biasa.
Mas Imrul, seorang satpam, mantan narapidana, tidak dikenal di bumi, tapi terkenal di langit.
Inilah lelaki langit yang semua malaikat pencatat kebaikan pasti mengenalnya.
*******
Tiga hari di Mekkah kami menginap di Royal Clock Tower (Zamzam Tower).
Aku dan mas Imrul menghabiskan seluruh hari penuh dengan ibadah.
Tak cuma itu.
Ada yang spesial di umroh kali ini, dan itu semua karena mas Imrul.
Aku biasa telat shalat fardhu, lalu shalat berjamaahnya cuma di dekat hotel.
Tapi tidak saat bersama Mas Imrul.
Kami selalu berada di shaf depan, melihat langsung Ka’bah.
Aku belum pernah mencium hajar aswad padahal umroh berkali-kali, tapi tidak saat bersama mas Imrul.
Badannya yang kurus justru berhasil membawaku mencium batu hitam itu berkali-kali sepuasnya.
Kami juga shalat di Hijir Ismail dan lama berdo’a di Multazam, antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah.
Semuanya lancar tanpa halangan.
Mas Imrul terlihat sangat menikmati perjalanan umroh ini.
Dalam benakku, kalau pulang nanti dia akan aku pekerjakan sebagai satpam di rumahku.
Hari keempat kami berangkat ke Masjid Nabawi, Madinah Al-Munawaroh.
Dalam bis VIP mas Imrul lebih banyak diam dan berdzikir.
_“Kalau saya perhatikan, mas Imrul tak pernah kelihatan susah,”_ ujarku sambil memiringkan sedikit badan ke arahnya.
_“Allah yang membolak-balikkan hati Pak,”_ ujarnya datar.
_“Maka mintalah itu pada-Nya. Kalau kita menjaga Allah, kita pun akan dijaga-Nya.”_
_“Maksudnya menjaga Allah itu bagaimana Mas?”_
_“Jaga Allah dengan menyempurnakan hari,”_ ujar Mas Imrul serius.
_“Maksudnya bagaimana Mas?”_
_“Hari yang sempurna itu diawali dengan bangun malam. Shalat tahajjud dan witir. Minimal 2 plus 1._
_Lalu Dhuha minimal 2, dan shalat rawatib yang jumlahnya 12 raka’at. Utamanya shalat sunnah fajar sebelum subuh._
_Selalu shalat wajib berjama’ah di masjid._
_Membaca Al-Qur’an usahakan 1 juz setiap hari._
_Senin-Kamis puasa sunnah. Itulah hari yang sempurna.”_
Aku hanya terpana...
Mobil Camry, Mercedez Benz, Pajero, rumah mewah hasil jerih payahku, jadi seperti harta tak bermakna...
Sampai di Madinah, setelah shalat ashar di masjid Nabawi, kami berdesakan menuju *Rawdhah.*
Area khusus dengan karpet hijau itu memang jadi rebutan para jama’ah.
Kami menunggu giliran dengan sabar, berdiri di belakang pembatas putih.
Ketika petugas masjid membukanya, serentak setengah berlari kami menuju pojok paling dekat dengan tembok di sebaliknya makam Rasulullah saw.
_“Mas, ayo cepat shalat disini. Perbanyak istighfar, shalawat & do’a. Ini salah satu tempat yang paling mustajab buat berdo’a,”_ ujarku sambil bersiap-siap sholat.
Di sampingku mas Imrul dengan khusyu’ mendirikan shalat sunnah.
Selesai shalat, aku duduk berdo’a di sampingnya yang masih berlama-lama sujud.
Area Rawdhah sudah sesak dipenuhi jama’ah.
Tak sampai 10 menit kemudian, muncul petugas masjid menyuruh kami segera pergi.
Waktu sudah habis.
Sekarang giliran jama’ah lainnya yang sudah menunggu di balik pembatas putih.
Aku melihat mas Imrul masih sujud.
Petugas masjid menepuk pundakku, menyuruh kami segera pergi.
Entah do’a apa yang dipanjatkan mas Imrul, mengapa begitu lama.
Aku mengguncang halus punggungnya.
Badannya terguling lemah.
Mas Imrul telah tiada...!
Wajah tirusnya tersenyum damai.
Dia meninggal dalam keadaan terbaiknya.
Husnul khatimah saat sujud di Rawdhah, *taman surga.*
Badanku lemas...
Jantungku berdegup kencang.
*Lelaki langit itu telah kembali kepada Rabb-nya...*
*******
Aku duduk sendiri di kelas bisnis.
Penerbangan Jeddah - Jakarta terasa lengang.
Baru saja aku terlelap di kursi, suara awak kabin membangunkan para penumpang untuk makan malam, 6 detik kemudian aku terduduk diam.
Kenapa ibu yang membangunkanku? Ibu kan sdh meninggal.?
_“Mas Bagus, matur nuwun sanget,”_ ujar ibu dengan logat Jawanya yang kental dan senyum khasnya...
*******
Allah swt berfirman:
ﻳَﺎ ﺃَﻳَّﺘُﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﻔْﺲُ ﺍﻟْﻤُﻄْﻤَﺌِﻨَّﺔُ ﮦ
ﺍﺭْﺟِﻌِﻰ ﺇِﻟَﻰٰ ﺭَﺑِّﻚِ ﺭَﺍﺿِﻴَﺔً ﻣَﺮْﺿِﻴَّﺔً ﮦ
ﻓَﺎﺩْﺧُﻠِﻰ ﻓِﻰ ﻋِﺒَﺎﺩِﻯ ﮦ
ﻭَﺍﺩْﺧُﻠِﻰ ﺟَﻨَّﺘِﻰ ﮦ
_"Hai jiwa yang tenang."_
_"Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya."_
_"Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,"_
_"dan masuklah ke dalam surga-Ku."_
(QS. Al-Fajr, 89: 27-30)
😌🙏❤💕
Minggu, 27 Maret 2022
SOSOK AMIR SYARIFUDDIN KECERDASANNYA BAGIAN DARI SEJARAH KELAM BAGI IDIOLOGY PANCASILA DAN NKRI
Jumat, 14 Januari 2022
BENCANA ALAM DALAM FILOSOFI DAN PRESFEKTIF HUKUM Rta dan HUKUM Rna DALAM.MASYARAKAT HINDU
*BENCANA ALAM DALAM FILOSOFI PERSPEKTIF HUKUM Rta dan HUKUM Rna dalam kehifupan masyarakat Hindu
Hukum Alam dan Hukum Wajib sesuai masyarakat hindu
menyebutkan bahwa jagad raya atau alam semesta dikendalikan oleh *hukum lahir (Utpeti),* *hidup (Stiti)* dan *mati (Pralina),*
dan tak ada seorangpun yang dapat menghindari hukum tersebut. Ini sesuai dengan aksara suci OM yang merupakan penyatuan dari aksara *AUM yaitu Ang (Jawa: Ana),*
*Ung (Urip),* dan *Mang (Mati)* sebagai simbol dari hukum tersebut. Maka OM mencerminkan tidak saja kesucian tetapi juga keabadian kukum jagad raya atau alam semesta.
Apa artinya?
Artinya lahir, hidup, dan mati adalah sebuah keniscayaan. Lahir bisa dengan berbagai cara, ada yang dengan stek, cangkok, membelah diri, bertelur, lahir normal, sesar, lahir di jalan, di rumah sakit, dll. Hidup juga bermacam-macam. Ada yang miskin, kaya, jadi guru, petani, pengusaha, bahagia, menderita. Mati pun caranya bermacam-macam. Ada yang sakit berbulan-bulan, ada yang sebentar, ada yang tidak sakit tau-tau meninggal. Ada yang kecelakaan, ada juga karena bencana alam.
Keseluruhan alam semesta ini terdiri dari dua realitas: Purusha dan Prakriti.
*Prakriti adalah divine energy (energi ilahi).*
Prakriti adalah penyebab awal dari seluruh fenomena alam materi, seluruh dimensi alam semesta - dan segalanya, tentu saja kecuali Purusha yang tidak memiliki penyebab maupun menjadi sebab. Prakriti menjadi sumber asal dari apapun yang bersifat material dan energi.
*Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari* *(Rg Veda 2.72.4)*
Artinya:
Dari aditi (materi) daksa (energi) berasal dan dari daksa aditi berasal.
Dalam hukum modern, ini dikenal dengan hukum kekekalan energi.
Seringkali kita menghubungkan bencana alam dengan tingkah manusia yang semakin jauh dari ajaran dharma. Apa betul demikian?
Bisa benar bisa salah.
1. Tergantung bencananya. Ada bencana yang terjadi akibat ulah manusia. Banjir dan tanah longsor misalnya, bisa jadi karena ulah manusia dan bisa juga bukan. Tergantung konteksnya. Apalagi gempa bumi dan gunung meletus. Sangat kecil bahkan boleh dikatakan tidak ada peran manusia sebagai penyebab kejadian bencananya.
2. Tergantung bagaimana manusia menyikapinya. Apakah kita siap dengan bencana yang terjadi? Apakah kita telah mempelajari, memperkirakan potensinya, memahami tanda-tandanya, bersiaga melakukan evakuasi ketika tanda-tanda itu datang, sampai pada sikap penerimaan akan Hukum Tuhan itu?
*Hukum alam Rta yang lebih mudah kita pahami sebagai Dharma*
menjadi landasan Srada ketiga yaitu
*Hukum Karma Pahala,*
Karma adalah Perbuatan dan Pahala adalah Hasilnya. Hukum ini bekerja dengan sedemikian adilnya tanpa ada cacat cela. Kalaupun kita tidak mau peduli dengan bencana termasuk gempa bumi dan gunung meletus maka hukum karmapala juga bekerja. Karena hukum ini tidak pernah absen dalam segala aspek kehidupan.
Apa yang kita perbuat itulah yang akan kita terima.
*Ajaran Tri Rna* mengatakan bahwa kita harus membayar hutang (saya lebih suka menyebut sebagai kewajiban) atas apa yang telah Tuhan berikan, para guru berikan, dan orang tua atau leluhur berikan. Tuhan memberikan kita akal budi, kecerdasan. Para guru memberi kita pelajaran pengetahuan. Orang tua memberi kita cintakasih maupun bimbingan sikap hidup dan kebiasaan baik. Semua itu harus kita balas dengan memanfaatkan akal budi dan kecerdasan kita untuk menyerap ilmu pengetahuan tentang alam. Tentang hukum-hukum alam.
*Pemahaman terhadap Rta (Hukum Semesta)* dan *Rna (Kewajiban)* akan membuat kita selalu berusaha belajar dan bekerja keras menjaga harmoni jagad raya. Ini adalah sebuah kesadaran modern nan canggih.
Bahwa agama bukan hanya aturan tentang bagaimana manusia menyembah Tuhannya. Tapi juga bagaimana manusia berhubungan dengan manusia lain. Bukan hanya hubungan sosial tapi juga hubungan pengetahuan, saling belajar. Juga hubungan ekonomi, saling berupaya membangun kesejahteraan.
Bahkan agama juga memberikan pedoman untuk manusia berhubungan dengan alam. Bagaimana memahami sifat-sifat alam, seberapa besar porsi yang bisa kita ambil dan harus seberapa besar kita memberi. Bukan hanya searah tapi harus timbal balik.
Konsep ini kita kenal dengan Tri Hita Karana , tiga hekarmonisan hidup yang mebuat hidup kita bahagia – membangun hubungan yang harmonis pada Tuhan, pada sesama manusia, dan pada alam. Pemahaman yang baik akan hukum alam membuat kita akan semakin meyakini konsep Tri Hita Karana. Kita meyakini hubungan yang baik dan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia degan alam akan membuat hidup kita bahagia.
Sekarang kita masuk lebih jauh ke bencana. Bencana itu ada 2, yaitu bencana alam dan non alam. Bencana non alam jelas terjadi karena sepenuhnya ulah manusia. Ada bencana sosial, bencana politik, bencana ekonomi, dll. Yang ini tidak perlu kita bahas lebih jauh. Kita akan lebih fokus pada bencana alam, yang sering terjadi dan menjadi perdebatan: ini salah siapa dan bagaimana kita seharusnya bersikap.
Bencana Karena Ulah Manusia?
Bencana alam sering dikaitkan dengan perilaku manusia yang semakin menjauh dari ajaran Tuhan. Benarkah demikian?
Pertanyaannya, ajaran Tuhan yang mana?
Kejadian gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami sering dikaitkan dengan teguran atas tingkah laku manusia yang mulai melupakan ritual agama, kemaksiatan, dll. Lalu, apakah meletusnya gunung Agung tahun 1954 juga karena manusia di Bali sudah mulai meninggalkan ajaran leluhurnya? Lebih jauh lagi, apakah meletusnya gunung Toba puluhan ribu tahun lalu yang mengakibatkan terbentuknya danau Toba juga karena manusia yang meninggalkan ajaran agama?
Bencana alam dibagi menjadi 2: bencana geologi dan bencana hidrometeorologi.
*BENXANA GEOLOGY*
Gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami (bencana geologi) adalah konskuensi logis dan keniscayaan hukum Rta. Jagad raya diciptakan sedemikian sempurnanya sehingga ada tata surya yang nyaman menjadi tempat hidup manusia. Ada bumi yang kita tempati, ada matahari yang membuat bumi nyaman untuk kehidupan karena energi matahari membuat bumi memiliki segala persyaratan kehidupan seperti air, udara, dan segala zat yang terkandung baik di atmosfir, di permukaan bumi, hingga di perut bumi. Energi matahari yang diterima bumi mampu menggerakkan siklus hujan, dan menciptakan segala kebutuhan energi fosil (minyak dan batubara) juga energi panas bumi. Bumi kita terus berputar tanpa pernah berhenti sebagaimana Sang Hyang Widi juga tanpa pernah berhenti bersamadi. Inilah kehidupan.
Energi yang diterima bumi pada saatnya harus dikeluarkan untuk menjaga keseimbangan semesta. Maka gunung meletus dan gempa bumi adalah pertanda bahwa bumi kita tetap hidup. Tentu ini berbeda dengan planet lain yang tidak pernah mengalami letusan gunung dan gampa bumi karena memang tidak ada kehidupan.
Maka jika bencana gempa bumi dan gunung meletus dikaitkan dengan ulah manusia yang meninggalkan ajaran agama bukanlah hal yang tepat. Namun demikian sebagaimana ajaran Rta dan Rna maka bencana gunung meletus dan gempa bumi bisa saja dikaitkan dengan kurangnya kita menjalani kewajiban. Kita yang telah dibekali akal budi dan pengetahuan masih kurang memanfaatkan apa yang telah Tuhan, guru, dan orang tua berikan (Tri Rna) untuk belajar memahami tanda-tanda alam. Kurang menjaga harmoni Tri Hita Karana. Sudahkah para cerdik pandai membangun sistem peringatan dini bencana dengan baik? Sudahkan pemerintah menetapkan prosedur standar menghadapi bencana? Sudahkah masyarakat mematuhi peringatan dini yang ada? Atau justru merusak buoy tsunami? Sudahkan membangun gedung sesuai standar tahan gempa? Dll.
Jika dikaitkan dengan ini maka kerugian akibat bencana yang terjadi memang akibat ulah manusia yang tidak menjalani ajaran agama dengan baik. Dalam arti tidak mengimplementasikan ajaran agama dalam kehidupan yang semakin modern. Karena tujuan agama kita bukan hanya moksa melainkan moksartam jagadhita ya caiti dharma. Bukan hanya memikirkan bekal setelah mati melainkan juga harus mensejahterakan kehidupan di dunia.
Lalu bagaimana dengan bencana alam lain seperti banjir, longsor, kekeringan dll (yang disebut dengan bencana hidrometeorologi)? Untuk jenis bencana ini memang ulah manusia sangat besar pengaruhnya. Namun juga bukan sepenuhnya kesalahan manusia. Karena siklus alam juga selalu berusaha menjaga keseimbangannya dengan adanya hujan deras, angin kencang, dll. Hanya memang ulah manusia yang terlalu mengekploitasi alam seringkali membuat bencana hidrometeorologi terjadi semakin sering dan magnitudonya semakin kuat. Ini juga wujud sikap manusia yang tidak mengindahkan ajaran agama dalam konsep Rta, Rna, Karmaphala, dan Tri Hita Karana.
Tidak ada kesejahteraan yang bisa diraih bila hubungan satu dengan lainnya tak seimbang, patron – client, yang satu mengeksploitasi yang lain.
*Rg Veda I.1.9 yang menyatakan:*
*Sa nah piteva sunave
‘gne supayano bhava,
Sucasvanah svastaye*
Artinya:
Izinkan kami mendekatimu (bumi) dengan mudah, seperti ayah kepada anaknya; Semoga engkau senantiasa bersama kami.
Peran Ritual Keagamaan
Jika dalam ulasan di atas disebutkan bahwa bencana alam adalah siklus alam dan sebagian juga peran manusia dalam menjaga lingkungannya, lalu apa peran ritual keagamaan dalam kaitannya dengan bencana alam?
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap agama memiliki ritualnya masing-masing, meskipun bisa kita katakan bahwa Hindu merupakan agama dengan ritual yang mungkin paling banyak. Mengapa harus ada ritual? Tidak cukupkah hanya dengan doa atau japa atau mantra? Bukahkah Bhagawad Gita juga mengatakan demikian?
*Maha rsinam bhrgur aham Giram asmy ekam aksara Yadnyanam japa yadnyo aham Stha-varanam aham himalaya. (Bhagawad GitaX.25).*
Artinya:
Di antara Rsi Aku adalah Maha Rsi Bhrgu. Di antara aksara suci Aku adalah Omkara. Di antara Yandya Aku adalah Japa Yadnya. Di antara benda tak bergerak Aku adalah Himalaya.
Ritual adalah yadnya yang berisikan kalimat-kalimat mantra/japa berbalut tradisi dan budaya. Manusia seringkali memerlukan ritual untuk lebih bisa menguatkan niat dan memfokuskan pikiran dalam melantukan japa.
Tentu saja ritual tiap agama berbeda-beda tergantung dimana asal agama itu berkembang. Bahkan ritual agama Hindu juga bergantung pada budaya setempat. Lebih jauh lagi, ritual Hindu umumnya menggunakan sesaji yang melambangkan makna japa atau mantra yang dimaksudkan. Ibarat mengungkapkan cinta akan lebih afdol jika dilakukan dalam suasana romantis dengan perantara kuntum bunga. Sesaji yang menghiasi ritual Hindu seringkali diperepsikan tidak baik oleh peganut agama lain, bahkan dianggap sesat. Apalagi persembahan sesaji seringkali dihaturkan di gunung, laut, hutan angker, dll.
Dalam Hindu, alam adalah Tuhan dalam berbagai fungsinya. Dalam bentuk hujan Dia disebut Indra, dalam bentuk angin Dia disebut Bayu, dalam bentuk api Dia disebut Agni, dalam bentuk laut Dia disebut Baruna. “Ya Tuhan, engkau adalah Brahma, Wisnu, Siwa, Rudra…” demikian doa sehari-hari umat Hindu. Weda memang menyatakan demikian. Maka lahirlah yadnya (persembahan suci) kepada api, kepada laut, kepada gunung. Itulah bentuk harmoni, saling menghormati, saling menjaga.
*Istan bhogan hi vo deva
Dasyante yajna bhavitah
Tair dattan appradayaibhyo
Yo bhunkte stena eva sah (Bhagawad Gita III.12)*
Artinya:
Dengan pemujaanmu kepada dewata, maka Dewata akan memberkahimu dengan kebahagiaan. Dia yang menikmati berkah tanpa melakukan yadnya, adalah ibaratnya seperti pencuri.
Jadi, apakah persembahan-persembahan itu sesat?
Kembali lagi, tergantung kesadaran kita. Kesadaran anak-anak akan melahirkan gambaran Tuhan yang kekanak-kanakan, kesadaran yang matang dan dewasa akan melahirkan gambaran Tuhan yang dewasa: maha bijaksana, maha adil, maha baik, maha pengertian. Terlalu besar DIA untuk dipahami, dimiliki dan diklaim seorang diri.
Ritual Hindu dengan segala uba rampe atau perlengkapanya berupa sesaji justru menjadi penguat niat dari japa mantra atau doa. Kekuatan ritual justru meneguhkan betapa seriusnya kita ingin selalu menjaga harmoni hubungan manusia dengan alam dan dengan Tuhan.
GUS BROHEM
Relawan kebencanaan Indonesia